Dalam kehidupan sehari senayawa alkohol telah banyak dipergunakan, dibidang kesehatan alkohol 70% dipergunakan sebagai antiseptik, sedangkan dalam industri banyak dipergunakan sebagai bahan baku plastik, kosmetik dan saat ini sedang digalakkan bahan bakar dari alkohol.
A. Fenol
Fenol adalah senyawa alkohol, dimana gugus alkilnya berupa aril atau sikloalkil. Struktur senyawa fenol seperti :
Beberapa turunan dari senyawa yang penting banyak dipergunakan sebagai antiseptik seperti fenol, m-klorofenol dan p-bromofenol (lihat Gambar 12.48).
Gambar 12.48. Senyawa turunan fenol, m-klorofenol dan p-bromofenol
Senyawa turunan fenol lainnya pada bumbu dapur dan sering dijumpai pada cengkeh, vanila dan lainnya, senyawa tersebut seperti isoeugenol, eugenol, vanili dan timol. Senyawa tersebut disajikan dalam Gambar 12.49. di bawah ini.
Gamba
Blog ini merupakan media bagi anggota dan relawan untuk saling berbagi pengalaman tentang perjalanan hidup dan perjalanan keilmuan. SAC SEmangat.....
Rabu, 23 Maret 2011
iodometri dan iodimetri
Reaksi-reaksi kimia yang melibatkan oksidasi reduksi dipergunakan secara luas oleh analisis titrimetrik. Ion-ion dari berbagai unsur dapat hadir dalam kondisi oksidasi yang berbeda-beda, menghasilkan kemungkinan banyak reaksi redoks. Banyak dari reaksi-reaksi ini memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam analisi titrimetrik dan penerapan-penerapannya cukup banyak.
Iodometri adalah analisa titrimetrik yang secara tidak langsung untuk zat yang bersifat oksidator seperti besi III, tembaga II, dimana zat ini akan mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk iodin. Iodin yang terbentuk akan ditentukn dengan menggunakan larutan baku tiosulfat .
Oksidator + KI → I2 + 2e
I2 + Na2 S2O3 → NaI + Na2S4O6
Sedangkan iodimetri adalah merupakan analisis titrimetri yang secara langsung digunakan untuk zat reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau dengan penambahan larutan baku berlebihan. Kelebihan iodine dititrasi kembali dengan larutan tiosulfat.
Reduktor + I2 → 2I-
Na2S2 O3 + I2 → NaI +Na2S4 O6
Untuk senyawa yang mempunyai potensial reduksi yang rendah dapat direksikan secara sempurna dalam suasana asam. Adapun indikator yang digunakan dalam metode ini adalah indikator kanji.
Sedangkan bromometri merupakan metode oksidasi reduksi dengan dasar reaksi aksidasi dari ion bromat .
BrO3- + 6H+ + 6e → Br- + 3H2O
Adanya kelebihan KBrO3 dalam larutan akan menyebabkan ion bromida bereaksi dengan ion bromat
BrO3 + Br- + H+ → Br2 +H2O
Bromine yang dibebaskan akan merubah warna larutan menjadi kuning pucat (warna merah ), jika reaksi antara zat dan bromine dalam lingkungan asam berjalan cepat maka titrasi dapat secara langsung dilakukan. Namun bila lambat maka dapat dilakukan titrasi tidak langsung yaitu larutan bromine ditambah berlebih dan kelebihan bromine ditentukan secar iodometri. Bromin dapat diperoleh dari penambahan asam kedalam larutan yang mengandung kalium bromat dan kalium bromide.
Substansi-substansi penting yang cukup kuat sebagai unsur-unsur reduksi untuk dititrasi langsung dengan iodin adalah tiosulfat, arseni dan entimon, sulfida dan ferosianida. Kekuatan reduksi yang dimiliki oleh dari beberapa substansi ini adalah tergantung dari pada konsentrasi ion hydrogen, dan reaksi dengan iodin baru dapat dianalisis secara kuantitatif hanya bila kita melakukan penyesuaian ph yang sulit.
Dalam menggunakan metode iodometrik kita menggunakan indikator kanji dimana warna dari sebuah larutan iodin 0,1 N cukup intens sehingga iodin dapat bertindak sebagai indikator bagi dirinya sendiri. Iodin juga memberikan warna ungu atau violet yang intens untuk zat-zat pelarut seperti karbon tetra korida dan kloroform. Namun demikan larutan dari kanji lebih umum dipergunakan, karena warna biru gelap dari kompleks iodin–kanji bertindak sebagai suatu tes yang amat sensitiv untuk iodin.
Dalam beberapa proses tak langsung banyak agen pengoksid yang kuat dapat dianalisis dengan menambahkan kalium iodida berlebih dan mentitrasi iodin yang dibebaskan. Karena banyak agen pengoksid yang membutuhkan larutan asam untuk bereaksi dengan iodin, Natrium tiosulfat biasanya digunakan sebagai titrannya. Titrasi dengan arsenik membutuhakn larutan yang sedikit alkalin.
Dalam larutan yang sedikit alkalin atau netral, oksidasi menjadi sulfat tidak muncul terutama jika iodin dipergunakan sebagai titran. Banyak agen pengoksid kuat, seperti garam permanganat, garam dikromat yang mengoksid tiosulfat menjadi sulfat, namun reaksinya tidak kuantitatif.
Pada penentuan iodometrik ada banyak aplikasi proses iodometrik seperti tembaga banyak digunakan baik untuk biji maupun paduannya metode ini memberikan hasil yang lebih sempurna dan cepat daripada penentuan elektrolit tembaga.
Pada metode bromometri, kalium bromat merupakan agen pengoksid yang kuat dengan potensial standar dari reaksinya
BrO3 + 6H+ + 6e → Br- + 3H2O
Adalah +1,44 V. Reagen dapat digunakan dalam dua cara yaitu sebagai sebuah oksdasi langsung untuk agen-agen pereduksi tertentu dan untuk membangkitkan sejumlah bromin yang kuantitasnya diketahui.
Sejumlah agen pereduksi pada titrasi langsung metode bromometri sepertyi arsenik, besi (II) dan sulfida serta disulfida organik tertentu dapat dititrasi secara langsung dengan sebuah larutan kalium bromat .
Kehadiran bromin terkadang cocok untuk menentukan titik akhir titrasi,
beberapa indikator organik yang bereaksi dengan bromin untuk memberikan perubahan warna. Perubahan warna ini biasanya tidak reversibel dan kita harus hati-hati agar kita mendapatkan hasil yang lebih baik .
Reaksi brominasi senyawa-senyawa organik larutan standar seperti kalium bromat dapat dipergunakan untuk menghasilkan sejumlah bromin dengan kuantitas yang diketahui. Bromin tersebut kemudian dapat digunakan untuk membrominasi secara kuantitatif berbagai senyawa organik. Bromide berlebih hadir dalam kasus-kasus semacam ini, sehingga jumlah bromin yang dihasilkan dapat dihitung dari jumlah KBrO3 yang diambil. Biasanya bromin yang dihasilkan apabila terdapat kelebihan pada kuantitas yang dibutuhkan untuk membrominasi senyawa organik tersebut untuk membantu memaksa reaksi ini agar selesai sepenuhnya.
Reaksi bromin dengan senyawa organiknya dapat berupa subtitusi atau bisa juga reaksi adisi.
Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat bereaksi dengan I- (iodide) untuk menghasilkan I2, I2 yang terbentuk secara kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka titrasi iodometri adalah dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali.
Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika direaksikan dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titrant hal ini disebabkan karena factor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indicator yang dapat dipakai untuk iodide. Oleh sebab itu titrasi kembali merubakan proses titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan iodide. Senyawaan iodide umumnya KI ditambahkan secara berlebih pada larutan oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah equivalent dengan jumlah oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi I2 dengan larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3) dengan indicator amilum jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks amilum-I2 sampai warna ini tepat hilang.
Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut:
IO3- + 5 I- + 6H+ -> 3I2 + H2O
I2 + 2 S2O32- -> 2I- + S4O62-
Setiap mmol IO3- akan menghasilkan 3 mmol I2 dan 3 mmol I2 ini akan tepat bereaksi dengan 6 mmol S2O32- (ingat 1 mmol I2 tepat bereaksi dengan 2 mmol S2O32-) sehingga mmol IO3- ditentukan atau setara dngan 1/6 mmol S2O32-.
Mengapa kita menitrasi langsung antara tiosulfat dengan analit? Beberapa alasan yang dapat dijabarkan adalah karena analit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi tiosulfat menjadi senyawaan yang bilangan oksidasinya lebih tinggi dari tetrationat dan umumnya reaksi ini tidak stoikiometri. Alasa kedua adalah tiosulfat dapat membentuk ion kompleks dengan beberapa ion logam seperti Besi(II).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi Iodometri adalah sebagai berikut:
Penambahan amilum sebaiknya dilakukan saat menjelang akhir titrasi, dimana hal ini ditandai dengan warna larutan menjadi kuning muda (dari oranye sampai coklat akibat terdapatnya I2 dalam jumlah banyak), alasannya kompleks amilum-I2 terdisosiasi sangat lambat akibatnya maka banyak I2 yang akan terabsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan pada awal titrasi, alasan kedua adalah biasanya iodometri dilakukan pada media asam kuat sehingga akan menghindari terjadinya hidrolisis amilum
Titrasi harus dilakukan dengan cepat untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodide oleh udara bebas. Pengocokan pada saat melakukan titrasi iodometri sangat diwajibkan untuk menghindari penumpukan tiosulfat pada area tertentu, penumpukkan konsentrasi tiosulfat dapat menyebabkan terjadinya dekomposisi tiosulfat untuk menghasilkan belerang. Terbentuknya reaksi ini dapat diamati dengan adanya belerang dan larutan menjadi bersifat koloid (tampak keruh oleh kehadiran S).
S2O32- + 2H+ -> H2SO3 + S
Pastikan jumlah iodide yang ditambahkan adalah berlebih sehingga semua analit tereduksi dengan demikian titrasi akan menjadi akurat. Kelebihan iodide tidak akan mengganggu jalannya titrasi redoks akan tetapi jika titrasi tidak dilakukan dengan segera maka I- dapat teroksidasi oleh udara menjadi I2.
Bagaimana menstandarisasi larutan tiosulfat?
Tiosulfat yang dipakai dalam titrasi iodometri dapat distandarisasi dengan menggunakan senyawa oksidator yang memiliki kemurnian tinggi (analytical grade) seperti K2Cr2O7, KIO3, KBrO3, atau senyawaan tembaga(II).
Bila digunakan Cu(II) maka pH harus dibuffer pada pH 3 dan dipakai tiosianat untuk masking agent, KSCN ditambahkan pada waktu mendektitik akhir titrasi dengan tujuan untuk menggantikan I2 yang teradsorbsi oleh CuI. Bila pH yang digunakan tinggi maka tembaga(II) akan terhidrolisis dan akan terbentuk hidroksidanya. Jika keasaman larutan sangat tinggi maka cenderung terjadi reaksi I- sebagai akibat adanya Cu(II) dalam larutan yang megkatalis reaksi tersebut.
Beberapa contoh reaksi iodometri adalah sebagai berikut
2MnO4- + 10 I- + 16 H+ <-> 2Mn2+ + 5 I2 + 8H2O
Cr2O72- + 6I- <-> 14 H+ <-> 2Cr3+ + 3 I2 + 7H2O
2Fe3+ + 2I- <-> 2Fe2+ + I2
2 Ce4+ + 2I- <-> 2Ce3+ + I2
Br2 + 2I- <-> 2Br- + I2
Iodometri adalah analisa titrimetrik yang secara tidak langsung untuk zat yang bersifat oksidator seperti besi III, tembaga II, dimana zat ini akan mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk iodin. Iodin yang terbentuk akan ditentukn dengan menggunakan larutan baku tiosulfat .
Oksidator + KI → I2 + 2e
I2 + Na2 S2O3 → NaI + Na2S4O6
Sedangkan iodimetri adalah merupakan analisis titrimetri yang secara langsung digunakan untuk zat reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau dengan penambahan larutan baku berlebihan. Kelebihan iodine dititrasi kembali dengan larutan tiosulfat.
Reduktor + I2 → 2I-
Na2S2 O3 + I2 → NaI +Na2S4 O6
Untuk senyawa yang mempunyai potensial reduksi yang rendah dapat direksikan secara sempurna dalam suasana asam. Adapun indikator yang digunakan dalam metode ini adalah indikator kanji.
Sedangkan bromometri merupakan metode oksidasi reduksi dengan dasar reaksi aksidasi dari ion bromat .
BrO3- + 6H+ + 6e → Br- + 3H2O
Adanya kelebihan KBrO3 dalam larutan akan menyebabkan ion bromida bereaksi dengan ion bromat
BrO3 + Br- + H+ → Br2 +H2O
Bromine yang dibebaskan akan merubah warna larutan menjadi kuning pucat (warna merah ), jika reaksi antara zat dan bromine dalam lingkungan asam berjalan cepat maka titrasi dapat secara langsung dilakukan. Namun bila lambat maka dapat dilakukan titrasi tidak langsung yaitu larutan bromine ditambah berlebih dan kelebihan bromine ditentukan secar iodometri. Bromin dapat diperoleh dari penambahan asam kedalam larutan yang mengandung kalium bromat dan kalium bromide.
Substansi-substansi penting yang cukup kuat sebagai unsur-unsur reduksi untuk dititrasi langsung dengan iodin adalah tiosulfat, arseni dan entimon, sulfida dan ferosianida. Kekuatan reduksi yang dimiliki oleh dari beberapa substansi ini adalah tergantung dari pada konsentrasi ion hydrogen, dan reaksi dengan iodin baru dapat dianalisis secara kuantitatif hanya bila kita melakukan penyesuaian ph yang sulit.
Dalam menggunakan metode iodometrik kita menggunakan indikator kanji dimana warna dari sebuah larutan iodin 0,1 N cukup intens sehingga iodin dapat bertindak sebagai indikator bagi dirinya sendiri. Iodin juga memberikan warna ungu atau violet yang intens untuk zat-zat pelarut seperti karbon tetra korida dan kloroform. Namun demikan larutan dari kanji lebih umum dipergunakan, karena warna biru gelap dari kompleks iodin–kanji bertindak sebagai suatu tes yang amat sensitiv untuk iodin.
Dalam beberapa proses tak langsung banyak agen pengoksid yang kuat dapat dianalisis dengan menambahkan kalium iodida berlebih dan mentitrasi iodin yang dibebaskan. Karena banyak agen pengoksid yang membutuhkan larutan asam untuk bereaksi dengan iodin, Natrium tiosulfat biasanya digunakan sebagai titrannya. Titrasi dengan arsenik membutuhakn larutan yang sedikit alkalin.
Dalam larutan yang sedikit alkalin atau netral, oksidasi menjadi sulfat tidak muncul terutama jika iodin dipergunakan sebagai titran. Banyak agen pengoksid kuat, seperti garam permanganat, garam dikromat yang mengoksid tiosulfat menjadi sulfat, namun reaksinya tidak kuantitatif.
Pada penentuan iodometrik ada banyak aplikasi proses iodometrik seperti tembaga banyak digunakan baik untuk biji maupun paduannya metode ini memberikan hasil yang lebih sempurna dan cepat daripada penentuan elektrolit tembaga.
Pada metode bromometri, kalium bromat merupakan agen pengoksid yang kuat dengan potensial standar dari reaksinya
BrO3 + 6H+ + 6e → Br- + 3H2O
Adalah +1,44 V. Reagen dapat digunakan dalam dua cara yaitu sebagai sebuah oksdasi langsung untuk agen-agen pereduksi tertentu dan untuk membangkitkan sejumlah bromin yang kuantitasnya diketahui.
Sejumlah agen pereduksi pada titrasi langsung metode bromometri sepertyi arsenik, besi (II) dan sulfida serta disulfida organik tertentu dapat dititrasi secara langsung dengan sebuah larutan kalium bromat .
Kehadiran bromin terkadang cocok untuk menentukan titik akhir titrasi,
beberapa indikator organik yang bereaksi dengan bromin untuk memberikan perubahan warna. Perubahan warna ini biasanya tidak reversibel dan kita harus hati-hati agar kita mendapatkan hasil yang lebih baik .
Reaksi brominasi senyawa-senyawa organik larutan standar seperti kalium bromat dapat dipergunakan untuk menghasilkan sejumlah bromin dengan kuantitas yang diketahui. Bromin tersebut kemudian dapat digunakan untuk membrominasi secara kuantitatif berbagai senyawa organik. Bromide berlebih hadir dalam kasus-kasus semacam ini, sehingga jumlah bromin yang dihasilkan dapat dihitung dari jumlah KBrO3 yang diambil. Biasanya bromin yang dihasilkan apabila terdapat kelebihan pada kuantitas yang dibutuhkan untuk membrominasi senyawa organik tersebut untuk membantu memaksa reaksi ini agar selesai sepenuhnya.
Reaksi bromin dengan senyawa organiknya dapat berupa subtitusi atau bisa juga reaksi adisi.
Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat bereaksi dengan I- (iodide) untuk menghasilkan I2, I2 yang terbentuk secara kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka titrasi iodometri adalah dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali.
Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika direaksikan dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titrant hal ini disebabkan karena factor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indicator yang dapat dipakai untuk iodide. Oleh sebab itu titrasi kembali merubakan proses titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan iodide. Senyawaan iodide umumnya KI ditambahkan secara berlebih pada larutan oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah equivalent dengan jumlah oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi I2 dengan larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3) dengan indicator amilum jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks amilum-I2 sampai warna ini tepat hilang.
Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut:
IO3- + 5 I- + 6H+ -> 3I2 + H2O
I2 + 2 S2O32- -> 2I- + S4O62-
Setiap mmol IO3- akan menghasilkan 3 mmol I2 dan 3 mmol I2 ini akan tepat bereaksi dengan 6 mmol S2O32- (ingat 1 mmol I2 tepat bereaksi dengan 2 mmol S2O32-) sehingga mmol IO3- ditentukan atau setara dngan 1/6 mmol S2O32-.
Mengapa kita menitrasi langsung antara tiosulfat dengan analit? Beberapa alasan yang dapat dijabarkan adalah karena analit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi tiosulfat menjadi senyawaan yang bilangan oksidasinya lebih tinggi dari tetrationat dan umumnya reaksi ini tidak stoikiometri. Alasa kedua adalah tiosulfat dapat membentuk ion kompleks dengan beberapa ion logam seperti Besi(II).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi Iodometri adalah sebagai berikut:
Penambahan amilum sebaiknya dilakukan saat menjelang akhir titrasi, dimana hal ini ditandai dengan warna larutan menjadi kuning muda (dari oranye sampai coklat akibat terdapatnya I2 dalam jumlah banyak), alasannya kompleks amilum-I2 terdisosiasi sangat lambat akibatnya maka banyak I2 yang akan terabsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan pada awal titrasi, alasan kedua adalah biasanya iodometri dilakukan pada media asam kuat sehingga akan menghindari terjadinya hidrolisis amilum
Titrasi harus dilakukan dengan cepat untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodide oleh udara bebas. Pengocokan pada saat melakukan titrasi iodometri sangat diwajibkan untuk menghindari penumpukan tiosulfat pada area tertentu, penumpukkan konsentrasi tiosulfat dapat menyebabkan terjadinya dekomposisi tiosulfat untuk menghasilkan belerang. Terbentuknya reaksi ini dapat diamati dengan adanya belerang dan larutan menjadi bersifat koloid (tampak keruh oleh kehadiran S).
S2O32- + 2H+ -> H2SO3 + S
Pastikan jumlah iodide yang ditambahkan adalah berlebih sehingga semua analit tereduksi dengan demikian titrasi akan menjadi akurat. Kelebihan iodide tidak akan mengganggu jalannya titrasi redoks akan tetapi jika titrasi tidak dilakukan dengan segera maka I- dapat teroksidasi oleh udara menjadi I2.
Bagaimana menstandarisasi larutan tiosulfat?
Tiosulfat yang dipakai dalam titrasi iodometri dapat distandarisasi dengan menggunakan senyawa oksidator yang memiliki kemurnian tinggi (analytical grade) seperti K2Cr2O7, KIO3, KBrO3, atau senyawaan tembaga(II).
Bila digunakan Cu(II) maka pH harus dibuffer pada pH 3 dan dipakai tiosianat untuk masking agent, KSCN ditambahkan pada waktu mendektitik akhir titrasi dengan tujuan untuk menggantikan I2 yang teradsorbsi oleh CuI. Bila pH yang digunakan tinggi maka tembaga(II) akan terhidrolisis dan akan terbentuk hidroksidanya. Jika keasaman larutan sangat tinggi maka cenderung terjadi reaksi I- sebagai akibat adanya Cu(II) dalam larutan yang megkatalis reaksi tersebut.
Beberapa contoh reaksi iodometri adalah sebagai berikut
2MnO4- + 10 I- + 16 H+ <-> 2Mn2+ + 5 I2 + 8H2O
Cr2O72- + 6I- <-> 14 H+ <-> 2Cr3+ + 3 I2 + 7H2O
2Fe3+ + 2I- <-> 2Fe2+ + I2
2 Ce4+ + 2I- <-> 2Ce3+ + I2
Br2 + 2I- <-> 2Br- + I2
Jumat, 11 Maret 2011
rapit- sigel
Rapid gel adalah bentuk baru dari silica gel yang dihasilkan oleh APS sebagai control pasif dari humuditif yang diperlihatkan di museum.
Kelembaban karakteristik pendapar dalam pertengahan range pH (40-60 %) dan respon kecepatan rapid yang ekstrim, itu sangat efeisien dari pada produk silica gel untuk di aplikasikan pada pertunjukan atau yang diperlihatkan di museum.
Rapid silica gel mengandung sedikit serbuk silica gel dengan ketebalan 2 mm (1/8th inch) menyerap di tengah dari kertas polyester, mengandung 750 gram dari silica gel tiap meter persegi dari tiap material.
Kromotografi Rapid Silika Gel adalah termasuk jenis kromotografi kolom hisap hisap yang berdiameter 6 cm, panjang 25 cm dibersihkan dan di bilas dengan methanol kemudian dipasang tegak lurus pada statif dimana absorban di buat dengan mencampur silikan gel kasar dan halus dengan perbandingan 30:10 dengan diameter 4 cm panjang 30 cm. Kemudian absorban disuspernsikan dengan cairan pengelusi yang akan digunakan, dimasukkan kedalam kolom kemudian ditambahkan cairan pengelusi dan pompa vakum dijalankan hingga absorban rapat (Rusli Ssi Apt 2005).
Ekstrak yang terlah diuapkan hingga kering dilarutkan dengan sedikit cairan pengelusi kemudian dimasukan keadalam kolom dengan bantuan pipet, sedikit demi sedikit hingga masuk semua. Bagian atas ditutup denga kertas saring untuk menghindari percikan pada waktu penambahan eluen. Cairan pengelusi ditambahkan melalui dinding kolom, pompa vakum dijalankan kembali sehingga eluen turun sambil mengelusi komponen kimia dan eluen yang keluar di tampung sebagai fraksi-fraksi dengan volume 25 ml tiap fraksi. Elusi dilakukan dengan tetesan terakhir tidak menampakan noda lagi jika dianalisis dengan KLT. Fraksi yang memberikan noda dan Rf yang sama pada KLT disatukan.
SKEMA KERJA RAPID SILIKA GEL
Kolom isap (diameter 4 cm, panjang 30cm)
↓
Dibersihkan dan dibilas dengan metanol
↓
Dipasang tegak lurus pada statif
↓
Absorban (dicampur silica gel kasar & halus, 30:10)
↓
Suspensi dengan cairan pengelusi
↓
Dimasukkan ke dalam kolom
↓
Ditambahkan cairan pengelusi
↓
Pompa vakum dijalankan kembali
↓
Ekstrak cair
Ekstrak kering
↓
Dimasukkan cairan pengelusi
↓
Dimasukkan ke dalam kolom dengan bantuan pipet
↓
Ditambahkan cairan pengelusi (melalui dinding kolom)
↓
Pompa vakum dijalankan kembali
↓
Eluen yang keluar mengelusi komponen kimia
↓
Menghasilkan fraksi-fraksi (25ml/fraksi)
↓
Elusi hingga tetesan terakhir hingga tidak menampakkan noda lagi
Kromotografi Rapid Silika gel adalah termasuk jenis kromotografi kolom hisap. Kromotografi Rapid Silika gel Kromotografi Rapid Silika Gel adalah termasuk jenis kromotografi kolom hisap hisap yang berdiameter 4 cm, panjang 30 cm dibersihkan dan di bilas dengan methanol kemudian dipasang tegak lurus pada statif dimana absorban di buat dengan mencampur silikan gel kasar dan halus dengan perbandingan 30:10 Kemudian absorban disuspernsikan dengan cairan pengelusi yang akan digunakan, dimasukkan kedalam kolom kemudian ditambahkan cairan pengelusi dan pompa vakum dijalankan hingga absorban rapat
Kelembaban karakteristik pendapar dalam pertengahan range pH (40-60 %) dan respon kecepatan rapid yang ekstrim, itu sangat efeisien dari pada produk silica gel untuk di aplikasikan pada pertunjukan atau yang diperlihatkan di museum.
Rapid silica gel mengandung sedikit serbuk silica gel dengan ketebalan 2 mm (1/8th inch) menyerap di tengah dari kertas polyester, mengandung 750 gram dari silica gel tiap meter persegi dari tiap material.
Kromotografi Rapid Silika Gel adalah termasuk jenis kromotografi kolom hisap hisap yang berdiameter 6 cm, panjang 25 cm dibersihkan dan di bilas dengan methanol kemudian dipasang tegak lurus pada statif dimana absorban di buat dengan mencampur silikan gel kasar dan halus dengan perbandingan 30:10 dengan diameter 4 cm panjang 30 cm. Kemudian absorban disuspernsikan dengan cairan pengelusi yang akan digunakan, dimasukkan kedalam kolom kemudian ditambahkan cairan pengelusi dan pompa vakum dijalankan hingga absorban rapat (Rusli Ssi Apt 2005).
Ekstrak yang terlah diuapkan hingga kering dilarutkan dengan sedikit cairan pengelusi kemudian dimasukan keadalam kolom dengan bantuan pipet, sedikit demi sedikit hingga masuk semua. Bagian atas ditutup denga kertas saring untuk menghindari percikan pada waktu penambahan eluen. Cairan pengelusi ditambahkan melalui dinding kolom, pompa vakum dijalankan kembali sehingga eluen turun sambil mengelusi komponen kimia dan eluen yang keluar di tampung sebagai fraksi-fraksi dengan volume 25 ml tiap fraksi. Elusi dilakukan dengan tetesan terakhir tidak menampakan noda lagi jika dianalisis dengan KLT. Fraksi yang memberikan noda dan Rf yang sama pada KLT disatukan.
SKEMA KERJA RAPID SILIKA GEL
Kolom isap (diameter 4 cm, panjang 30cm)
↓
Dibersihkan dan dibilas dengan metanol
↓
Dipasang tegak lurus pada statif
↓
Absorban (dicampur silica gel kasar & halus, 30:10)
↓
Suspensi dengan cairan pengelusi
↓
Dimasukkan ke dalam kolom
↓
Ditambahkan cairan pengelusi
↓
Pompa vakum dijalankan kembali
↓
Ekstrak cair
Ekstrak kering
↓
Dimasukkan cairan pengelusi
↓
Dimasukkan ke dalam kolom dengan bantuan pipet
↓
Ditambahkan cairan pengelusi (melalui dinding kolom)
↓
Pompa vakum dijalankan kembali
↓
Eluen yang keluar mengelusi komponen kimia
↓
Menghasilkan fraksi-fraksi (25ml/fraksi)
↓
Elusi hingga tetesan terakhir hingga tidak menampakkan noda lagi
Kromotografi Rapid Silika gel adalah termasuk jenis kromotografi kolom hisap. Kromotografi Rapid Silika gel Kromotografi Rapid Silika Gel adalah termasuk jenis kromotografi kolom hisap hisap yang berdiameter 4 cm, panjang 30 cm dibersihkan dan di bilas dengan methanol kemudian dipasang tegak lurus pada statif dimana absorban di buat dengan mencampur silikan gel kasar dan halus dengan perbandingan 30:10 Kemudian absorban disuspernsikan dengan cairan pengelusi yang akan digunakan, dimasukkan kedalam kolom kemudian ditambahkan cairan pengelusi dan pompa vakum dijalankan hingga absorban rapat
Minggu, 20 Februari 2011
partisi padat cair
Ekstraksi padat-cair tak kontinu
Dalam hal yang paling sederhana bahan ekstraksi padat dicampur beberapa kali dengan pelarut segar di dalam sebuah tangki pengaduk. Larutan ekstrak yang terbentuk setiap kali dipisahkan dengan cara penjernihan (pengaruh gaya berat) atau penyaringan (dalam sebuag alat yang dihubungkan dengan ekstraktor). Proses ini tidak begitu ekonomis,digunakan misalnya di tempat yang tidak tersedia ekstraktor khusus atau bahan ekstraksi tersedia dalam bentuk serbuk sangat halus,sehingga karena bahaya penyumbatan,ekstraktor lain tidak mungkin digunakan.
Ekstraktor yang sebenamya adalah tangki-tangki dengan pelat ayak yang dipasang di dalamnya. Pada alat ini bahan ekstraksi diletakkan diatas pelat ayak horisontal. Dengan bantuan suatu distributor, pelarut dialirkan dari atas ke bawah. Dengan perkakas pengaduk (di atas pelat ayak) yang dapat dinaikturunkan, pencampuran seringkali dapat disempurnakan,atau rafinat dapat dikeluarkan dari tangki setelah berakhirnya ekstraksi. Ekstraktor semacarn ini hanya sesuai untuk bahan padat dengan partikel yang tidak terlalu halus.
Yang lebih ekonomis lagi adalah penggabungan beberapa ekstraktor yang dipasang seri dan aliran bahan ekstraksi berlawanan dengan aliran pelarut.Dalam hal ini pelarut dimasukkan kedalam ekstraktor yang berisi campuran yang telah mengalami proses ekstraksi paling banyak. Pada setiap ekstraktor yang dilewati, pelarut semakin diperkaya oleh ekstrak.Pelarut akan dikeluarkan dalam konsentrasi tinggi dari ekstraktor yang berisi campuran yang mengalami proses ekstraksi paling sedikit. Dengan operasi ini pemakaian pelarut lebih sedikit dan konsentrasi akhir dari larutan ekstrak lebih tinggi.
Cara lain ialah dengan mengalirkan larutan ekstrak yang keluar dari pelat ayak ke sebuah ketel destilasi, menguapkan pelarut di situ, menggabungkannya dalam sebuah kondenser dan segera mengalirkannya kembali ke ekstraktor untuk dicampur dengan bahan ekstraksi.Dalam ketel destilasi konsentrasi larutan ekstrak terus menerus meningkat.Dengan metode ini jumlah total pelarut yang diperlukan relatif kecil.Meskipun demikian, selalu terdapat perbedaan konsentrasi ekstrak yang maksimal antara bahan ekstraksi dan pelarut. Kerugiannya adalah pemakaian banyak energi karena pelarut harus diuapkan secara terus menerus.
Pada ekstraksi bahan-bahan yang peka terhadap suhu terdapat sebuah bak penampung sebagai pengganti ketel destilasi.Dari bak tersebut larutan ekstrak dialirkan ke dalam alat penguap vakum (misalnya alat penguap pipa atau film). Uap pelarut yang terbentuk kemudian dikondensasikan,pelarut didinginkan dan dialirkan kem bali ke dalam ekstraktor dalam keadaan dingin.
Ekstraksi padat-cair kontinyu
Cara kedua ekstraktor ini serupa dengan ekstraktor-ekstraktor yang dipasang seri, tetapi pengisian, pengumpanan pelarut dan juga pengosongan berlangsung secara otomatik penuh dan terjadi dalam sebuah alat yang sama. Oleh Pengumpanan karena itu dapat diperoleh output yang lebih besar dengan jumlah kerepotan yang lebih sedikit. Tetapi karena biaya untuk peralatannya besar,ekstraktor semacam itu
kebanyakan hanya digunakan untuk bahan ekstraksi yang tersedia dalam kuantitas besar (misalnya biji-bijian minyak, tumbuhan). Dari beraneka ragarn konstruksi alat ini, berikut akan di bahas ekstraktor keranjang (bucket-wheel extractor) dan ekstraktor sabuk (belt extractor).
Ekstraktor keranjang
Pada ekstraktor keranjang (keranjang putar rotary extractor), bahan ekstraksi terus menerus dimasukkan ke dalam sel-sel yang berbentuk juring (sektor) dari sebuah rotor yang berputar lambat mengelilingi poros.Bagian bawah sel-sel ditutup oleh sebuah pelat ayak. Selama satu putaran, bahan padat dibasahi dari arah berlawanan oleh pelarut atau larutan ekstrak yang konsentrasinya meningkat. Pelarut atau larutan 287 tersebut dipompa dari sel ke sel dan disiramkan ke atas bahan padat. Akhirnya, bahan dikeluarkan dan keseluruhan proses ini berlangsung secara otomatik. ( sorii hehehe cuma ini yang baru aku dapat selebih akan aku lengkapi dalam waktu dekat ini hehehe)
Dalam hal yang paling sederhana bahan ekstraksi padat dicampur beberapa kali dengan pelarut segar di dalam sebuah tangki pengaduk. Larutan ekstrak yang terbentuk setiap kali dipisahkan dengan cara penjernihan (pengaruh gaya berat) atau penyaringan (dalam sebuag alat yang dihubungkan dengan ekstraktor). Proses ini tidak begitu ekonomis,digunakan misalnya di tempat yang tidak tersedia ekstraktor khusus atau bahan ekstraksi tersedia dalam bentuk serbuk sangat halus,sehingga karena bahaya penyumbatan,ekstraktor lain tidak mungkin digunakan.
Ekstraktor yang sebenamya adalah tangki-tangki dengan pelat ayak yang dipasang di dalamnya. Pada alat ini bahan ekstraksi diletakkan diatas pelat ayak horisontal. Dengan bantuan suatu distributor, pelarut dialirkan dari atas ke bawah. Dengan perkakas pengaduk (di atas pelat ayak) yang dapat dinaikturunkan, pencampuran seringkali dapat disempurnakan,atau rafinat dapat dikeluarkan dari tangki setelah berakhirnya ekstraksi. Ekstraktor semacarn ini hanya sesuai untuk bahan padat dengan partikel yang tidak terlalu halus.
Yang lebih ekonomis lagi adalah penggabungan beberapa ekstraktor yang dipasang seri dan aliran bahan ekstraksi berlawanan dengan aliran pelarut.Dalam hal ini pelarut dimasukkan kedalam ekstraktor yang berisi campuran yang telah mengalami proses ekstraksi paling banyak. Pada setiap ekstraktor yang dilewati, pelarut semakin diperkaya oleh ekstrak.Pelarut akan dikeluarkan dalam konsentrasi tinggi dari ekstraktor yang berisi campuran yang mengalami proses ekstraksi paling sedikit. Dengan operasi ini pemakaian pelarut lebih sedikit dan konsentrasi akhir dari larutan ekstrak lebih tinggi.
Cara lain ialah dengan mengalirkan larutan ekstrak yang keluar dari pelat ayak ke sebuah ketel destilasi, menguapkan pelarut di situ, menggabungkannya dalam sebuah kondenser dan segera mengalirkannya kembali ke ekstraktor untuk dicampur dengan bahan ekstraksi.Dalam ketel destilasi konsentrasi larutan ekstrak terus menerus meningkat.Dengan metode ini jumlah total pelarut yang diperlukan relatif kecil.Meskipun demikian, selalu terdapat perbedaan konsentrasi ekstrak yang maksimal antara bahan ekstraksi dan pelarut. Kerugiannya adalah pemakaian banyak energi karena pelarut harus diuapkan secara terus menerus.
Pada ekstraksi bahan-bahan yang peka terhadap suhu terdapat sebuah bak penampung sebagai pengganti ketel destilasi.Dari bak tersebut larutan ekstrak dialirkan ke dalam alat penguap vakum (misalnya alat penguap pipa atau film). Uap pelarut yang terbentuk kemudian dikondensasikan,pelarut didinginkan dan dialirkan kem bali ke dalam ekstraktor dalam keadaan dingin.
Ekstraksi padat-cair kontinyu
Cara kedua ekstraktor ini serupa dengan ekstraktor-ekstraktor yang dipasang seri, tetapi pengisian, pengumpanan pelarut dan juga pengosongan berlangsung secara otomatik penuh dan terjadi dalam sebuah alat yang sama. Oleh Pengumpanan karena itu dapat diperoleh output yang lebih besar dengan jumlah kerepotan yang lebih sedikit. Tetapi karena biaya untuk peralatannya besar,ekstraktor semacam itu
kebanyakan hanya digunakan untuk bahan ekstraksi yang tersedia dalam kuantitas besar (misalnya biji-bijian minyak, tumbuhan). Dari beraneka ragarn konstruksi alat ini, berikut akan di bahas ekstraktor keranjang (bucket-wheel extractor) dan ekstraktor sabuk (belt extractor).
Ekstraktor keranjang
Pada ekstraktor keranjang (keranjang putar rotary extractor), bahan ekstraksi terus menerus dimasukkan ke dalam sel-sel yang berbentuk juring (sektor) dari sebuah rotor yang berputar lambat mengelilingi poros.Bagian bawah sel-sel ditutup oleh sebuah pelat ayak. Selama satu putaran, bahan padat dibasahi dari arah berlawanan oleh pelarut atau larutan ekstrak yang konsentrasinya meningkat. Pelarut atau larutan 287 tersebut dipompa dari sel ke sel dan disiramkan ke atas bahan padat. Akhirnya, bahan dikeluarkan dan keseluruhan proses ini berlangsung secara otomatik. ( sorii hehehe cuma ini yang baru aku dapat selebih akan aku lengkapi dalam waktu dekat ini hehehe)
SENYAWA KOMPLEKS
Dalam ilmu kimia, kompleks atau senyawa koordinasi merujuk pada molekul atau entitas yang terbentuk dari penggabungan ligan dan ion logam. Dulunya, sebuah kompleks artinya asosiasi reversibel dari molekul, atom, atau ion melalui ikatan kimia yang lemah. Pengertian ini sekarang telah berubah. Beberapa kompleks logam terbentuk secara irreversibel, dan banyak di antara mereka yang memiliki ikatan yang cukup kuat
Sejarah
Senyawa-senyawa kompleks telah diketahui - walaupun saat itu belum sepenuhnya dimengerti - sejak awal ilmu kimia, misalnya Prussian blue dan Tembaga(II) sulfat. Terobosan penting terjadi saat kimiawan Jerman Alfred Werner, mengusulkan bahwa ion kobalt(III) memiliki enam ligan dalam struktur geometri oktahedral. Dengan teori ini, para ilmuwan dapat mengerti perbedaan antara klorida koordinasi dan klorida ionik pada berbagai isomer-isomer kobalt amina klorida, dan menjelaskan kenapa senyawa ini memiliki banyak isomer, yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan. Werner juga menggolongkan senyawa kompleks ini kepada beberapa isomer optis, mematahkan teori bahwa hanya senyawa karbon yang memiliki sifat khiralitas.
Tatanama kompleks
Pada dasarnya, dalam menamai sebuah senyawa kompleks:
Dalam menamai sebuah ion kompleks, ligan disebutkan sebelum ion logam
Nama-nama ligan dituliskan sesuai urutan alfabetis. (awalan yang menunjukkan jumlah tidak mempengaruhi urutan alfabetis)
Berikan awalan pada ligan-ligan sesuai jumlahnya. Ligan-ligan monodentat memiliki awalan : di-, tri-, tetra-, penta-, heksa-, dst. sesuai jumlahnya. Ligan-ligan polidentat diberi awalan bis-, tris-, tetrakis-, dst.
Ligan anion diakhiri dengan huruf 'o', misalnya sulfat menjadi sulfato, dan jika anion tersebut memiliki akhiran -ida, maka akhiran tersebut dihilangkan misalnya sianida menjadi siano.
Ligan netral diberikan nama umumnya, kecuali amina untuk NH3, aqua atau aquo untuk H2O, karbonil untuk CO, dan nitrosil untuk NO
Tuliskan nama ion/atom pusat. Jika ion kompleks tersebut merupakan sebuah anion, nama atom pusat diakhiri dengan -at, dan menggunakan nama Latinnya. Jika tidak, maka atom pusat dituliskan dengan nama umumnya dalam bahasa Indonesia. Jika diperlukan, tulis bilangan oksidasinya dalam angka romawi (atau 0), dalam tanda kurung.
Jika kompleks tersebut merupakan senyawa ion, tuliskan nama kation sebelum nama anion dipisahkan dengan spasi. Jika kompleks tersebut merupakan ion bermuatan, tuliskan kata "ion" sebelum nama kompleks tersebut
Contoh:
[NiCl4]2− → ion tetrakloronikelat(II)
[CuNH3Cl5]3− → ion aminapentaklorokuprat(II)
[Cd(en)2(CN)2] → disianobis(etilendiamin)kadmium(II)
[Co(NH3)5Cl]SO4 → pentaaminaklorokobalt(III) sulfat
Salah satu sifat unsur transisi adalah mempunyai kecenderungan untuk membentuk ion kompleks atau senyawa kompleks. Ion-ion dari unsur logam transisi memiliki orbital-orbital kosong yang dapat menerima pasangan elektron pada pembentukan ikatan dengan molekul atau anion tertentu membentuk ion kompleks
Salah satu sifat unsur transisi adalah mempunyai kecenderungan untuk membentuk ion kompleks atau senyawa kompleks. Ion-ion dari unsur logam transisi memiliki orbital-orbital kosong yang dapat menerima pasangan elektron pada pembentukan ikatan dengan molekul atau anion tertentu membentuk ion kompleks
Ion kompleks terdiri atas ion logam pusat dikelilingi anion-anion atau molekul-molekul membentuk ikatan koordinasi. Ion logam pusat disebut ion pusat atau atom pusat. Anion atau molekul yang mengelilingi ion pusat disebut ligan. Banyaknya ikatan koordinasi antara ion pusat dan ligan disebut bilangan koordinasi.
Ion pusat merupakan ion unsur transisi, dapat menerima pasangan elektron bebas dari ligan. Pasangan elektron bebas dari ligan menempati orbital-orbital kosong dalam subkulit 3d, 4s, 4p dan 4d pada ion pusat.
Ligan adalah molekul atau ion yang dapat menyumbangkan pasangan elektron bebas kepada ion pusat. Ligan ada yang netral dan bermuatan negatif atau positif. Pemberian nama pada ligan disesuaikan dengan jenis ligannya. Bila ada dua macam ligan atau lebih maka diurutkan menurut abjad.
salah satu cuntoh kriteria struktur senyawa kompleks
Senyawa kompleks terbentuk dari ion logam dan ligan. Pada umumnya ion logam yang digunakan adalah: ion logam transisi golongan 3-11 dengan konfigurasi elektron [gas mulia] nd1-9, sedang ligan yang terkoordinasi adalah basa Lewis. Struktur dan sifat Senyawa kompleks serta syarat kestabilan telah banyak diteliti dan dipelajari. Sementara itu ion logam dengan konfigurasi elektron [gas mulia] nd10, yang disebut sel tertutup (closed shell) kurang diperhatikan karena strukturnya selalu teratur dan sederhana. Ion logam sel tertutup ini adalah ion logam golongan 11 dengan bilangan oksidasi +1 dan golongan 12 yang berbilangan oksidasi +2. Struktur kompleks ion logam d10 ini telah didominasi dengan struktur yang dapat diramalkan, misalnya: struktur kompeks kation [Ag(NH3)2]+ adalah linier dengan koordinasi dua dan kompleks kation [Zn(NH3)4]2+ adalah tetraeder dengan koordinasi empat. Selain itu Senyawa kompleks dari ion logam d10 jarang diteliti karena warnanya selalu putih, bersifat diamagnetik dan energi penstabilan medan ligan berharga nol.
Tahun 1976, White, dkk. [47] menemukan kecenderungan struktur yang berbeda dengan anggapan di atas, dengan diperolehnya berbagai macam struktur Senyawa kompleks ion logam sel tertutup yang lebih rumit dan memiliki sifat berbeda.
Kelompok ion logam sel tertutup yang telah dipelajari adalah: ion logam golongan Cu(I), Ag(I), Ap(I) - yang menempati batas antara logam transisi dan unsur golongan utama. Senyawa kompleks dari ion logam golongan 11 yang berhasil disintesis dengan ligan yang merupakan basa Lewis monodentat dari unsur golongan 15 ini terdiri dari berbagai macam stoikiometri dan struktur.[3, 5, 9-21, 23-34, 3940, 42, 43, 47-50, 53] Struktur Senyawa kompleks tersebut dapat berupa monomer, dimer, tetramer, oligomer atau polimer, yang menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya kesamaan struktur antara senyawa kompleks dari Cu(I), Ag(I) dan Au(I) yang ketiganya mempunyai konfigurasi elektron [gas mulia]nd10.
Beberapa senyawa kompleks dari ion logam golongan .12 - Zn(II), Cd(II) dan Hg(II) - dengan ligan monodentat dari unsur golongan 15, terutama nitrogen, dengan berbagai macam stoikiometri dan struktur telah berhasil disintesis [ 1, 2, 7, 8, 22, 35, 37, 41, 44-46, 51, 52] tetapi belum dipelajari secara sistematik. Pelengkapan data struktur ini hanya dapat diperoleh melalui sintesis langsung.
Sampai saat ini sintesis dilakukan tanpa adanya prakiraan awal tentang kestabilan dan struktur dari senyawa kompleks yang akan disintesis. Suatu cara mendapatkan prakiraan awal tersebut adalah dengan menggunakan program Mekanika Molekular (MM). Tujuan komputasi MM adalah untuk menentukan struktur dan energi optimum yang didasarkan pada model mekanik tersebut. Bertolak.........
Deskripsi Alternatif :
Senyawa kompleks terbentuk dari ion logam dan ligan. Pada umumnya ion logam yang digunakan adalah: ion logam transisi golongan 3-11 dengan konfigurasi elektron [gas mulia] nd1-9, sedang ligan yang terkoordinasi adalah basa Lewis. Struktur dan sifat Senyawa kompleks serta syarat kestabilan telah banyak diteliti dan dipelajari. Sementara itu ion logam dengan konfigurasi elektron [gas mulia] nd10, yang disebut sel tertutup (closed shell) kurang diperhatikan karena strukturnya selalu teratur dan sederhana. Ion logam sel tertutup ini adalah ion logam golongan 11 dengan bilangan oksidasi +1 dan golongan 12 yang berbilangan oksidasi +2. Struktur kompleks ion logam d10 ini telah didominasi dengan struktur yang dapat diramalkan, misalnya: struktur kompeks kation [Ag(NH3)2]+ adalah linier dengan koordinasi dua dan kompleks kation [Zn(NH3)4]2+ adalah tetraeder dengan koordinasi empat. Selain itu Senyawa kompleks dari ion logam d10 jarang diteliti karena warnanya selalu putih, bersifat diamagnetik dan energi penstabilan medan ligan berharga nol.
Tahun 1976, White, dkk. [47] menemukan kecenderungan struktur yang berbeda dengan anggapan di atas, dengan diperolehnya berbagai macam struktur Senyawa kompleks ion logam sel tertutup yang lebih rumit dan memiliki sifat berbeda.
Kelompok ion logam sel tertutup yang telah dipelajari adalah: ion logam golongan Cu(I), Ag(I), Ap(I) - yang menempati batas antara logam transisi dan unsur golongan utama. Senyawa kompleks dari ion logam golongan 11 yang berhasil disintesis dengan ligan yang merupakan basa Lewis monodentat dari unsur golongan 15 ini terdiri dari berbagai macam stoikiometri dan struktur.[3, 5, 9-21, 23-34, 3940, 42, 43, 47-50, 53] Struktur Senyawa kompleks tersebut dapat berupa monomer, dimer, tetramer, oligomer atau polimer, yang menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya kesamaan struktur antara senyawa kompleks dari Cu(I), Ag(I) dan Au(I) yang ketiganya mempunyai konfigurasi elektron [gas mulia]nd10.
Beberapa senyawa kompleks dari ion logam golongan .12 - Zn(II), Cd(II) dan Hg(II) - dengan ligan monodentat dari unsur golongan 15, terutama nitrogen, dengan berbagai macam stoikiometri dan struktur telah berhasil disintesis [ 1, 2, 7, 8, 22, 35, 37, 41, 44-46, 51, 52] tetapi belum dipelajari secara sistematik. Pelengkapan data struktur ini hanya dapat diperoleh melalui sintesis langsung.
Sampai saat ini sintesis dilakukan tanpa adanya prakiraan awal tentang kestabilan dan struktur dari senyawa kompleks yang akan disintesis. Suatu cara mendapatkan prakiraan awal tersebut adalah dengan menggunakan program Mekanika Molekular (MM). Tujuan komputasi MM adalah untuk menentukan struktur dan energi optimum yang didasarkan pada model mekanik tersebut
Sejarah
Senyawa-senyawa kompleks telah diketahui - walaupun saat itu belum sepenuhnya dimengerti - sejak awal ilmu kimia, misalnya Prussian blue dan Tembaga(II) sulfat. Terobosan penting terjadi saat kimiawan Jerman Alfred Werner, mengusulkan bahwa ion kobalt(III) memiliki enam ligan dalam struktur geometri oktahedral. Dengan teori ini, para ilmuwan dapat mengerti perbedaan antara klorida koordinasi dan klorida ionik pada berbagai isomer-isomer kobalt amina klorida, dan menjelaskan kenapa senyawa ini memiliki banyak isomer, yang sebelumnya tidak dapat dijelaskan. Werner juga menggolongkan senyawa kompleks ini kepada beberapa isomer optis, mematahkan teori bahwa hanya senyawa karbon yang memiliki sifat khiralitas.
Tatanama kompleks
Pada dasarnya, dalam menamai sebuah senyawa kompleks:
Dalam menamai sebuah ion kompleks, ligan disebutkan sebelum ion logam
Nama-nama ligan dituliskan sesuai urutan alfabetis. (awalan yang menunjukkan jumlah tidak mempengaruhi urutan alfabetis)
Berikan awalan pada ligan-ligan sesuai jumlahnya. Ligan-ligan monodentat memiliki awalan : di-, tri-, tetra-, penta-, heksa-, dst. sesuai jumlahnya. Ligan-ligan polidentat diberi awalan bis-, tris-, tetrakis-, dst.
Ligan anion diakhiri dengan huruf 'o', misalnya sulfat menjadi sulfato, dan jika anion tersebut memiliki akhiran -ida, maka akhiran tersebut dihilangkan misalnya sianida menjadi siano.
Ligan netral diberikan nama umumnya, kecuali amina untuk NH3, aqua atau aquo untuk H2O, karbonil untuk CO, dan nitrosil untuk NO
Tuliskan nama ion/atom pusat. Jika ion kompleks tersebut merupakan sebuah anion, nama atom pusat diakhiri dengan -at, dan menggunakan nama Latinnya. Jika tidak, maka atom pusat dituliskan dengan nama umumnya dalam bahasa Indonesia. Jika diperlukan, tulis bilangan oksidasinya dalam angka romawi (atau 0), dalam tanda kurung.
Jika kompleks tersebut merupakan senyawa ion, tuliskan nama kation sebelum nama anion dipisahkan dengan spasi. Jika kompleks tersebut merupakan ion bermuatan, tuliskan kata "ion" sebelum nama kompleks tersebut
Contoh:
[NiCl4]2− → ion tetrakloronikelat(II)
[CuNH3Cl5]3− → ion aminapentaklorokuprat(II)
[Cd(en)2(CN)2] → disianobis(etilendiamin)kadmium(II)
[Co(NH3)5Cl]SO4 → pentaaminaklorokobalt(III) sulfat
Salah satu sifat unsur transisi adalah mempunyai kecenderungan untuk membentuk ion kompleks atau senyawa kompleks. Ion-ion dari unsur logam transisi memiliki orbital-orbital kosong yang dapat menerima pasangan elektron pada pembentukan ikatan dengan molekul atau anion tertentu membentuk ion kompleks
Salah satu sifat unsur transisi adalah mempunyai kecenderungan untuk membentuk ion kompleks atau senyawa kompleks. Ion-ion dari unsur logam transisi memiliki orbital-orbital kosong yang dapat menerima pasangan elektron pada pembentukan ikatan dengan molekul atau anion tertentu membentuk ion kompleks
Ion kompleks terdiri atas ion logam pusat dikelilingi anion-anion atau molekul-molekul membentuk ikatan koordinasi. Ion logam pusat disebut ion pusat atau atom pusat. Anion atau molekul yang mengelilingi ion pusat disebut ligan. Banyaknya ikatan koordinasi antara ion pusat dan ligan disebut bilangan koordinasi.
Ion pusat merupakan ion unsur transisi, dapat menerima pasangan elektron bebas dari ligan. Pasangan elektron bebas dari ligan menempati orbital-orbital kosong dalam subkulit 3d, 4s, 4p dan 4d pada ion pusat.
Ligan adalah molekul atau ion yang dapat menyumbangkan pasangan elektron bebas kepada ion pusat. Ligan ada yang netral dan bermuatan negatif atau positif. Pemberian nama pada ligan disesuaikan dengan jenis ligannya. Bila ada dua macam ligan atau lebih maka diurutkan menurut abjad.
salah satu cuntoh kriteria struktur senyawa kompleks
Senyawa kompleks terbentuk dari ion logam dan ligan. Pada umumnya ion logam yang digunakan adalah: ion logam transisi golongan 3-11 dengan konfigurasi elektron [gas mulia] nd1-9, sedang ligan yang terkoordinasi adalah basa Lewis. Struktur dan sifat Senyawa kompleks serta syarat kestabilan telah banyak diteliti dan dipelajari. Sementara itu ion logam dengan konfigurasi elektron [gas mulia] nd10, yang disebut sel tertutup (closed shell) kurang diperhatikan karena strukturnya selalu teratur dan sederhana. Ion logam sel tertutup ini adalah ion logam golongan 11 dengan bilangan oksidasi +1 dan golongan 12 yang berbilangan oksidasi +2. Struktur kompleks ion logam d10 ini telah didominasi dengan struktur yang dapat diramalkan, misalnya: struktur kompeks kation [Ag(NH3)2]+ adalah linier dengan koordinasi dua dan kompleks kation [Zn(NH3)4]2+ adalah tetraeder dengan koordinasi empat. Selain itu Senyawa kompleks dari ion logam d10 jarang diteliti karena warnanya selalu putih, bersifat diamagnetik dan energi penstabilan medan ligan berharga nol.
Tahun 1976, White, dkk. [47] menemukan kecenderungan struktur yang berbeda dengan anggapan di atas, dengan diperolehnya berbagai macam struktur Senyawa kompleks ion logam sel tertutup yang lebih rumit dan memiliki sifat berbeda.
Kelompok ion logam sel tertutup yang telah dipelajari adalah: ion logam golongan Cu(I), Ag(I), Ap(I) - yang menempati batas antara logam transisi dan unsur golongan utama. Senyawa kompleks dari ion logam golongan 11 yang berhasil disintesis dengan ligan yang merupakan basa Lewis monodentat dari unsur golongan 15 ini terdiri dari berbagai macam stoikiometri dan struktur.[3, 5, 9-21, 23-34, 3940, 42, 43, 47-50, 53] Struktur Senyawa kompleks tersebut dapat berupa monomer, dimer, tetramer, oligomer atau polimer, yang menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya kesamaan struktur antara senyawa kompleks dari Cu(I), Ag(I) dan Au(I) yang ketiganya mempunyai konfigurasi elektron [gas mulia]nd10.
Beberapa senyawa kompleks dari ion logam golongan .12 - Zn(II), Cd(II) dan Hg(II) - dengan ligan monodentat dari unsur golongan 15, terutama nitrogen, dengan berbagai macam stoikiometri dan struktur telah berhasil disintesis [ 1, 2, 7, 8, 22, 35, 37, 41, 44-46, 51, 52] tetapi belum dipelajari secara sistematik. Pelengkapan data struktur ini hanya dapat diperoleh melalui sintesis langsung.
Sampai saat ini sintesis dilakukan tanpa adanya prakiraan awal tentang kestabilan dan struktur dari senyawa kompleks yang akan disintesis. Suatu cara mendapatkan prakiraan awal tersebut adalah dengan menggunakan program Mekanika Molekular (MM). Tujuan komputasi MM adalah untuk menentukan struktur dan energi optimum yang didasarkan pada model mekanik tersebut. Bertolak.........
Deskripsi Alternatif :
Senyawa kompleks terbentuk dari ion logam dan ligan. Pada umumnya ion logam yang digunakan adalah: ion logam transisi golongan 3-11 dengan konfigurasi elektron [gas mulia] nd1-9, sedang ligan yang terkoordinasi adalah basa Lewis. Struktur dan sifat Senyawa kompleks serta syarat kestabilan telah banyak diteliti dan dipelajari. Sementara itu ion logam dengan konfigurasi elektron [gas mulia] nd10, yang disebut sel tertutup (closed shell) kurang diperhatikan karena strukturnya selalu teratur dan sederhana. Ion logam sel tertutup ini adalah ion logam golongan 11 dengan bilangan oksidasi +1 dan golongan 12 yang berbilangan oksidasi +2. Struktur kompleks ion logam d10 ini telah didominasi dengan struktur yang dapat diramalkan, misalnya: struktur kompeks kation [Ag(NH3)2]+ adalah linier dengan koordinasi dua dan kompleks kation [Zn(NH3)4]2+ adalah tetraeder dengan koordinasi empat. Selain itu Senyawa kompleks dari ion logam d10 jarang diteliti karena warnanya selalu putih, bersifat diamagnetik dan energi penstabilan medan ligan berharga nol.
Tahun 1976, White, dkk. [47] menemukan kecenderungan struktur yang berbeda dengan anggapan di atas, dengan diperolehnya berbagai macam struktur Senyawa kompleks ion logam sel tertutup yang lebih rumit dan memiliki sifat berbeda.
Kelompok ion logam sel tertutup yang telah dipelajari adalah: ion logam golongan Cu(I), Ag(I), Ap(I) - yang menempati batas antara logam transisi dan unsur golongan utama. Senyawa kompleks dari ion logam golongan 11 yang berhasil disintesis dengan ligan yang merupakan basa Lewis monodentat dari unsur golongan 15 ini terdiri dari berbagai macam stoikiometri dan struktur.[3, 5, 9-21, 23-34, 3940, 42, 43, 47-50, 53] Struktur Senyawa kompleks tersebut dapat berupa monomer, dimer, tetramer, oligomer atau polimer, yang menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya kesamaan struktur antara senyawa kompleks dari Cu(I), Ag(I) dan Au(I) yang ketiganya mempunyai konfigurasi elektron [gas mulia]nd10.
Beberapa senyawa kompleks dari ion logam golongan .12 - Zn(II), Cd(II) dan Hg(II) - dengan ligan monodentat dari unsur golongan 15, terutama nitrogen, dengan berbagai macam stoikiometri dan struktur telah berhasil disintesis [ 1, 2, 7, 8, 22, 35, 37, 41, 44-46, 51, 52] tetapi belum dipelajari secara sistematik. Pelengkapan data struktur ini hanya dapat diperoleh melalui sintesis langsung.
Sampai saat ini sintesis dilakukan tanpa adanya prakiraan awal tentang kestabilan dan struktur dari senyawa kompleks yang akan disintesis. Suatu cara mendapatkan prakiraan awal tersebut adalah dengan menggunakan program Mekanika Molekular (MM). Tujuan komputasi MM adalah untuk menentukan struktur dan energi optimum yang didasarkan pada model mekanik tersebut
Jumat, 18 Februari 2011
"EKSTRAKSI CAIR-CAIR ATAU YANG SERING DISEBUT PARTISI CAIR-CAIR"
Ekstraksi cair-cair sangat berguna untuk memisahkan analit yang dituju dari penganggu dengan cara melakukan partisi sampel antar 2 pelarut yang tidak saling campur. Salah satu fasenya seringkali berupa air dan fase yang lain adalah pelarut organik. Senyawa-senyawa yang bersifat polar akan ditemukan di dalam fase air, sementara senyawa-senyawa yang bersifat hidrofobik akan masuk pada pelarut organik. Analit yang terekstraksi ke dalam pelarut organik akan mudah diperoleh kembali dengan cara penguapan pelarut, sementara analit yang masuk ke dalam fase air seringkali diinjeksikan secara langsung ke dalam kolom.
Disamping itu, ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada dalam sampel dengan jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan untuk deteksi atau kuantifikasinya.
Dalam bentuk yang paling sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan pelarut organik yang tidak campur dengan air. Kebanyakan prosedur ekstraksi cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat non polar atau agak polar seperti heksana, metilbenzen atau diklorometan. Meskipun demikian proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non polar ke dalam air) juga mungkin terjadi. Dengan kata lain, dalam ekstraksi cair-cair ini tidaklah mungkin untuk mencapai 100% analit terekstraksi pada salah satu fase/pelarut.
Karena ekstraksi merupakan proses kesetimbangan dengan efisiensi terbatas, maka sejumlah tertentu analit akan tertahan di kedua fase. Kesetimbangan kimia yang melibatkan perubahan pH, kompleksasi, pasangan ion, dan sebagainya dapat digunakan untuk meningkatkan perolehan kembali analit dan/atau menghilangkan pengganggu.
Teori Ekstraksi Cair-cair
Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang menyatakan bahwa ”pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling tidak campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam 2 fase disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (KD) dan diekspresikan dengan:
[S]org
KD = -------------
[S]aq
[S]org dan [S]aq masing-masing merupakan konsentrasi analit dalam fase organik dan dalam fase air; KD merupakan koefisien partisi.
Dalam prakteknya, analit seringkali berada dalam bentuk kimia yang berbeda karena adanya disosiasi (ionisasi), protonasi, dan juga kompleksasi atau polimerisasi karenanya ekspresi yang lebih berguna adalah rasio distribusi atau rasio partisi (D) yang diekspresikan dengan:
(Cs)org
D = -------------
(Cs)aq
(Cs)org dan (Cs)aq masing-masing merupakan konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase organik dan dalam fase air; D merupakan rasio partisi.
Jika tidak ada interaksi antar analit yang terjadi dalam kedua fase maka nilai KD dan D adalah identik.
Analit yang mempunyai rasio distrbusi besar (10 4 atau lebih) akan mudah terekstraksi ke dalam pelarut organik meskipun proses kesetimbangan (yang berari 100% solut terekstraksi atau tertahan) tidak pernah terjadi.
Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektifitas ekstraksi analit dengan rasio distribusi yang kecil (< 1) hanya dapat dicapai dengan mengenakan pelarut baru pada larutan sampel secara terus-menerus. Hal ini dapat dilakuan dengan refluks menggunakan alat yang didisain secara khusus yaitu suatu alat ekstraktor secara terus-menerus.
Alat ekstraksi secara terus-menerus :
pelarut pengekstraksi kurang rapat dibanding dengan larutan yang mengandung solut yang akan diekstraksi.
pelarut pengekstraksi lebih rapat dibanding dengan larutan yang mengandung solut yang akan diekstraksi.
Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah: mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (<10%), dapat menguap sehingga memudahkan menghilangkan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel.
Efisiensi ekstraksi dan selektifitas
Efesiensi proses ekstraksi tergantung pada nilai distribusinya (D-nya) dan juga tergantung pada volume relatif kedua fase. Dengan menggunakan ekstraksi, banyaknya analit yang terekstraksi dapat dihitung dengan rumus berikut:
Vorg dan Vaq masing-masing merupakan banyaknya volume fase organik dan fase air yang digunakan; D merupakan rasio distribusi.
Analit dengan nilai D yang kecil maka ekstraksi berulang akan meningkatkan efisiensi ekstraksi. Rumus yang digunakan untuk ektraksi bertingkat adalah :
Caq : banyaknya analit dalam fase air mula-mula
(Caq)n : banyaknya analit dalam fase air setelah n kali ekstraksi
Vorg : banyaknya volume fase organik
Vaq : banyaknya volume fase air
N : banyaknya (frekuensi) ekstraksi
Dari persamaan di atas nampak jelas bahwa efisiensi ekstraksi meningkat jika (i) digunakan jumlah larutan pengekstraksi yang lebih besar, atau (ii) dengan melakukan beberapa kali ekstraksi dengan volume yang sama.
Masalah-masalah dalam ekstraksi pelarut
Beberapa masalah sering dijumpai ketika melakukan ekstraksi pelarut yaitu: terbentuknya emulsi; analit terikat kuat pada partikulat; analit terserap oleh partikulat yang mungkin ada; analit terikat pada senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi; dan adanya kelarutan analit secara bersama-sama dalam kedua fase.
Terjadinya emulsi merupakan hal yang paling sering dijumpai. Oleh karena itu jika emulsi antara kedua fase ini tidak dirusak maka recovery yang diperoleh kurang bagus. Emulsi dapat dipecah dengan beberapa cara :
Penambahan garam ke dalam fase air
Pemanasan atau pendinginan corong pisah yang digunakan
Penyaringan melalui glass-wool
Penyaringan dengan menggunakan kertas saring
Penambahan sedikit pelarut organik yang berbeda
Sentrifugasi.
Jika senyawa-senyawa yang akan dilakukan ekstraksi pelarut berasal dari plasma maka kemungkinan senyawa tersebut terikat pada protein, sehingga recovery yang dihasilkan rendah. Teknik yang dapat digunakan untuk memisahkan senyawa yang terikat pada protein meliputi :
Penambahan detergen;
Penambahan pelarut organik yang lain;
Penambahan asam kuat;
Pengenceran dengan air;
Penggantian dengan senyawa yang mampu mengikat lebih kuat.
Disamping itu, ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada dalam sampel dengan jumlah kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan untuk deteksi atau kuantifikasinya.
Dalam bentuk yang paling sederhana, suatu alikuot larutan air digojog dengan pelarut organik yang tidak campur dengan air. Kebanyakan prosedur ekstraksi cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut organik yang bersifat non polar atau agak polar seperti heksana, metilbenzen atau diklorometan. Meskipun demikian proses sebaliknya (ekstraksi analit dari pelarut organik non polar ke dalam air) juga mungkin terjadi. Dengan kata lain, dalam ekstraksi cair-cair ini tidaklah mungkin untuk mencapai 100% analit terekstraksi pada salah satu fase/pelarut.
Karena ekstraksi merupakan proses kesetimbangan dengan efisiensi terbatas, maka sejumlah tertentu analit akan tertahan di kedua fase. Kesetimbangan kimia yang melibatkan perubahan pH, kompleksasi, pasangan ion, dan sebagainya dapat digunakan untuk meningkatkan perolehan kembali analit dan/atau menghilangkan pengganggu.
Teori Ekstraksi Cair-cair
Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi Nerst atau hukum partisi yang menyatakan bahwa ”pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama diantara dua pelarut yang saling tidak campur”. Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam 2 fase disebut dengan koefisien distribusi atau koefisien partisi (KD) dan diekspresikan dengan:
[S]org
KD = -------------
[S]aq
[S]org dan [S]aq masing-masing merupakan konsentrasi analit dalam fase organik dan dalam fase air; KD merupakan koefisien partisi.
Dalam prakteknya, analit seringkali berada dalam bentuk kimia yang berbeda karena adanya disosiasi (ionisasi), protonasi, dan juga kompleksasi atau polimerisasi karenanya ekspresi yang lebih berguna adalah rasio distribusi atau rasio partisi (D) yang diekspresikan dengan:
(Cs)org
D = -------------
(Cs)aq
(Cs)org dan (Cs)aq masing-masing merupakan konsentrasi total analit (dalam segala bentuk) dalam fase organik dan dalam fase air; D merupakan rasio partisi.
Jika tidak ada interaksi antar analit yang terjadi dalam kedua fase maka nilai KD dan D adalah identik.
Analit yang mempunyai rasio distrbusi besar (10 4 atau lebih) akan mudah terekstraksi ke dalam pelarut organik meskipun proses kesetimbangan (yang berari 100% solut terekstraksi atau tertahan) tidak pernah terjadi.
Kebanyakan ekstraksi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam waktu beberapa menit. Akan tetapi untuk efektifitas ekstraksi analit dengan rasio distribusi yang kecil (< 1) hanya dapat dicapai dengan mengenakan pelarut baru pada larutan sampel secara terus-menerus. Hal ini dapat dilakuan dengan refluks menggunakan alat yang didisain secara khusus yaitu suatu alat ekstraktor secara terus-menerus.
Alat ekstraksi secara terus-menerus :
pelarut pengekstraksi kurang rapat dibanding dengan larutan yang mengandung solut yang akan diekstraksi.
pelarut pengekstraksi lebih rapat dibanding dengan larutan yang mengandung solut yang akan diekstraksi.
Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut adalah: mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (<10%), dapat menguap sehingga memudahkan menghilangkan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi sampel.
Efisiensi ekstraksi dan selektifitas
Efesiensi proses ekstraksi tergantung pada nilai distribusinya (D-nya) dan juga tergantung pada volume relatif kedua fase. Dengan menggunakan ekstraksi, banyaknya analit yang terekstraksi dapat dihitung dengan rumus berikut:
Vorg dan Vaq masing-masing merupakan banyaknya volume fase organik dan fase air yang digunakan; D merupakan rasio distribusi.
Analit dengan nilai D yang kecil maka ekstraksi berulang akan meningkatkan efisiensi ekstraksi. Rumus yang digunakan untuk ektraksi bertingkat adalah :
Caq : banyaknya analit dalam fase air mula-mula
(Caq)n : banyaknya analit dalam fase air setelah n kali ekstraksi
Vorg : banyaknya volume fase organik
Vaq : banyaknya volume fase air
N : banyaknya (frekuensi) ekstraksi
Dari persamaan di atas nampak jelas bahwa efisiensi ekstraksi meningkat jika (i) digunakan jumlah larutan pengekstraksi yang lebih besar, atau (ii) dengan melakukan beberapa kali ekstraksi dengan volume yang sama.
Masalah-masalah dalam ekstraksi pelarut
Beberapa masalah sering dijumpai ketika melakukan ekstraksi pelarut yaitu: terbentuknya emulsi; analit terikat kuat pada partikulat; analit terserap oleh partikulat yang mungkin ada; analit terikat pada senyawa yang mempunyai berat molekul tinggi; dan adanya kelarutan analit secara bersama-sama dalam kedua fase.
Terjadinya emulsi merupakan hal yang paling sering dijumpai. Oleh karena itu jika emulsi antara kedua fase ini tidak dirusak maka recovery yang diperoleh kurang bagus. Emulsi dapat dipecah dengan beberapa cara :
Penambahan garam ke dalam fase air
Pemanasan atau pendinginan corong pisah yang digunakan
Penyaringan melalui glass-wool
Penyaringan dengan menggunakan kertas saring
Penambahan sedikit pelarut organik yang berbeda
Sentrifugasi.
Jika senyawa-senyawa yang akan dilakukan ekstraksi pelarut berasal dari plasma maka kemungkinan senyawa tersebut terikat pada protein, sehingga recovery yang dihasilkan rendah. Teknik yang dapat digunakan untuk memisahkan senyawa yang terikat pada protein meliputi :
Penambahan detergen;
Penambahan pelarut organik yang lain;
Penambahan asam kuat;
Pengenceran dengan air;
Penggantian dengan senyawa yang mampu mengikat lebih kuat.
Sabtu, 05 Februari 2011
farmakologi "Penanganan Hewan Coba"
Penanganan Hewan Coba
Hewan percobaan yang digunakan di laboratorium tak ternilai jasanya dalam penilaian efek, toksisitas dan efek samping serta keamanan dan senyawa bioaktif. Hewan percobaan merupakan kunci di dalam pengembangan senyawa bioaktif dan usaha–usaha kesehatan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Penelitian
Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa bioaktif dengan hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Faktor internal pada hewan percobaan sendiri : umur, jenis kelamin, bobot badan, keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
2. Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang, populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang pemeliharaan, dan cara pemeliharaan.
3. Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan percobaan terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di samping itu cara pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi kemunculan efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan atau bentuk sediaan yang akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelum senyawa bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus melalui proses absorpsi terlebih dahulu kemudian
Sifat Fisiologi Yang Berpengaruh
1. Distribusi.
2. Absorpsi suatu senyawa bioaktif disamping ditentukan oleh sifat senyawa bioaktifnya sendiri juga ditentukan oleh sifat / keadaan daerah kontak mula oleh senyawa bioaktif dengan tubuh. Sifat–sifat fisiologis seperti jumlah suplai darah dan keadaan biokimia daerah kontak mula senyawa bioaktif dengan tubuh menentukan proses absorpsi senyawa bioaktif yang bersangkutan. Jumlah senyawa bioaktif yang akan mencapai sasaran kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan berbeda.
Peranan Cara Pemberian
Cara atau rute pemberian senyawa bioaktif menentukan daerah kontak mula senyawa bioaktif dengan tubuh dan ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek senyawa bioaktif.
Penanganan Umum Beberapa Hewan Coba
Berbeda dengan bahan kimia yang merupakan bahan mati, percobaan dengan hewan percobaan yang hidup memerlukan perhatian dan penanganan / perlakuan yang khusus.
Mencit (Mus musculus)
Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah ditangani dan bersifat penakut, fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi. Aktivitasnya di malam hari lebih aktif. Kehadiran manusia akan mengurangi aktivitasnya
Cara Memegang mencit
Mencit dapat dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, biarkan menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya seerat / setegang mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk diberi perlakuan.
Cara Pemberian
1. Cara pemberian oral:
Pemberian secara oral pada mencit dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi jarum/kanula oral (berujung tumpul). Kanula ini dimasukkan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan melalui langit-langit ke arah belakang sampai esophagus kemudian masuk ke dalam lambung. Perlu diperhatikan bahwa cara peluncuran/pemasukan kanus yang mulus disertai pengeluaran cairan sediaannya yang mudah adalah cara pemberian yang benar. Cara pemberian yang keliru, masuk ke dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian.
2. Cara pemberian intra peritoneal:
Mencit dipegang pada kulit punggungnya sehingga kulit abdomennya tegang, kemudian jarum disuntikkkan dengan membentuk sudut 100 dengan abdomen pada bagian tepi abdomen dan tidak terlalu ke arah kepala untuk menghindari terkenanya kandung kemih dan hati.
3. Cara pemberian subkutan:
Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit pada daerah kulit tengkuk dicubit di antara jempol dan telunjuk kemudian jarum ditusukkan di bawah kulit di antara kedua jari tersebut.
4. Cara pemberian intramuskular:
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot pada daerah otot paha.
5. Cara pemberian intravena:
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Hewan dimasukkan ke dalam kandang individual yang sempit dengan ekor dapat menjulang ke luar. Dilatasi vena untuk memudahkan penyuntikan, dapat dilakukan dengan pemanasan di bawah lampu atau dengan air hangat
Tikus Putih (Rattus norvegiens)
Tikus berukuran lebih besar daripada mencit dan lebih cerdas. Umumnya tikus putih ini tenang dan demikian mudah digarap. Tidak begitu bersifat fotofobik dan tidak begitu cenderung berkumpul sesamanya seperti mencit. Aktivitasnya tidak begitu terganggu oleh kehadiran manusia di sekitarnya. Bila diperlakukan kasar atau mengalami defisiensi makanan, tikus akan menjadi galak dan sering dapat menyerang si pemegang.
Penanganan :
Seperti halnya pada mencit, tikus dapat ditangani dengan memegang ekornya dengan menarik ekornya, biarkan kaki tikus mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang), kemudian secara hati–hati luncurkan tangan kiri dari belakang ke arah kepalanya seperti pada mencit tetapi dengan kelima jari, kulit tengkuk dicengkeram, cara lain yaitu selipkan ibu jari dan telunjuk menjepit kaki kanan depan tikus sedangkan kaki kiri depan tikus di antara jari tengah dan jari manis. Dengan demikian tikus akan terpegang dengan kepalanya di antara jari telunjuk dan jari tengah. Pemegangan tikus ini dilakukan dengan tangan kiri sehingga tangan kanan kita dapat melakukan perlakuan.
Pemberian Obat
Cara-cara pemberian oral, ip, sk, im, dan iv dapat dilakukan, seperti pada mencit. Penyuntikan secara iv dapat pula dilakukan pada vena penis tikus jantan dengan bantuan pembiusan hewan percobaan. Penyuntikan sk dapat dilakukan pula pada daerah kulit abdomen
Kelinci (Oryctolagus caniculus)
Kelinci jarang sekali bersuara kecuali bila dalam keadaan nyeri yang luar biasa. Kelinci cenderung berontak bila merasa terganggu. Kelinci hendaklah diperlakukan dengan halus namun sigap karena ia cenderung berontak. Hewan ini dapat ditangkap dengan memegang kulit pada tengkuknya dengan tangan kiri kemudian pantatnya diangkat dengan tangan kanan dan didekapkan ke badan.
Penanganan
Untuk perlakuan tertentu dapat digunakan kotak / kandang individual kelinci yang dapat menjaga kelinci agar tak dapat banyak bergerak (restriction box).
Cara Pemberian Obat
1. Cara pemberian oral:
Dalam cara pemberian oral pada kelinci digunakan alat penahan terbukanya mulut dan pipa lambung. Alat suntik dihubungkan dengan pipa lambung (dapat digunakan slang yang lunak dengan ukuran sesuai), pipa lambung dimasukkan ke dalam kemudian diluncurkan ke dalam esophagus secara perlahan-lahan
2. Cara pemberian subkutan:
Cara pemberian ini dilakukan di bawah kulit di daerah tengkuk atau daerah sisi pinggang. Cara pemberian dilakukan dengan mengangkat kulit dan kemudian jarum ditusukkan ke bawah kulit.
3. Cara pemberian intravena:
Dilakukan pada vena marginalis telinga dan penyuntikan dilakukan pada daerah dekat ujung telinga. Untuk memperluas (mendilatasi vena), telinga diulas terlebih dahulu dengan air hangat atau alkohol. Pencukuran bulu bila perlu dapat dilakukan terutama pada hewan yang berwarna bulunya.
Marmot (Cavia porcellus)
Marmot sebenarnya jinak dan mudah diperlakukan. Marmot dipegang dengan mengangkat badannya dengan kedua tangan.
1. Cara pemberian oral:
Pemberian oral kepada marmot dapat dilakukan dengan pipa lambung dengan bantuan hewan dianestetik lemah terlebih dahulu.
2. Cara pemberian intra pertoneal:
Penyuntikan dilakukan pada daerah perut agak ke kanan dari daerah garis tengah dan di atas tulang kematian.
3. Cara pemberian subkutan:
Penyuntikan dapat dilakukan pada daerah tengkuk: kulit dicubit kemudian jarum disuntikkan ke bawah kulit.
4. Cara pemberian intra pertoneal
Kelinci dipegang menggantung pada kaki belakangnya sehingga perut maju ke depan. Penyuntikan dapat dilakukan pada daerah garis tengah di muka kandung kemih.
5. Cara pemberian intramuskular:
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot paha kaki belakang.
6. Cara pemberian intravena:
Pada marmot cara ini jarang digunakan. Penyuntikan dapat digunakan pada vena marginalis dengan jarum yang halus dan pendek (cara ini dapat dilakukan untuk marmot yang cukup besar) atau pada vena pada bagian paha dengan bantuan anestetik terlebih dahulu atau pada vena penis dengan bantuan anestetik.
7. Pada tiap cara pemberian ini kecuali oral, pembersihan dengan antiseptik pada daerah penyuntikan perlu dilakukan pada sebelum penyuntikan dan setelah penyuntikan perlu dilakukan. Jumlah volume penyuntikan dari tiap cara pemberian dan pada berbagai hewan percobaan berbeda-beda. Dalam tabel pertama terlampir dicantumkan volume maksimum pemberian yang dapat
Bobot Badan hewan Coba yang Digunakan
Di dalam penggunaan, hewan percobaan yang digunakan dapat berdasarkan kriteria bobot badannya di samping usianya. Farmakope Indonesia edisi III-1979 mengemukakan kriteria bobot beberapa hewan percobaan yang digunakan dalam uji hayati.
Mencit : 17-25 gram
Kelinci : 15-20 kg
Tikus : 150-200 gram
Kucing : tidak kurang lima kg
Marmot : 300-500 gram
Merpati : 100-200 gram
CARA MENGORBANKAN HEWAN PERCOBAAN
1. Pengorbanan hewan sering diperlakukan apabila keadaan rasa sakit yang hebat atau lama akibat suatu percobaan atau apabila mengalami kecelakaan, menderita sakit atau jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan.
2. Etanasi atau cara kematian tanpa rasa sakit perlu dilakukan sedemikian sehingga hewan akan mati dengan seminimal mungkin rasa sakit. Pada dasarnya cara fisik yaitu dengan melakukan dislokasi leher adalah cara yang paling cepat, mudah dan berprikemanusiaan, tetapi cara perlakuan kematian juga perlu ditinjau bila ada tujuan dari pengorbanan hewan percobaan dalam rangkaian percobaan.
3. Cara pengorbanan hewan lain adalah dengan menggunakan gas karbondioksida dalam wadah khusus atau dengan pemberian pentobarbital natrium pada takaran letalnya.
ANESTESI PADA BEBERAPA HEWAN PERCOBAAN
Perlakuan anestesi terhadap hewan percobaan kadang kala diperlakukan untuk memudahkan cara pemberian senyawa bioaktif tertentu (pemberian i.v pada vena penis tikus) dan untuk percobaan-percobaan tertentu, misalnya pengukuran tekanan darah insitu pada karotid hewan dengan manometer condon. Umumnya anestesi hewan percobaan dapat dilakukan dengan pemberian uretan sebesar 1,2 gram/kg bobot badan yang diberikan secara intra peritoneal
DAFTAR PUSTAKA
Malole, M.M.B, Pramono, C.S.U., (1989), “ Penggunaan Hewan-hewan Percobaan Laboratorium”, Penelaah Maskudi Pertadireja, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB, Bogor.
Thomson, E.B, 1985, Grug Bloscreening, Fundamentals of Drug Evaluation Techniques in Pharmacology, Graceway Publishing Company, inc, New York.
Hewan percobaan yang digunakan di laboratorium tak ternilai jasanya dalam penilaian efek, toksisitas dan efek samping serta keamanan dan senyawa bioaktif. Hewan percobaan merupakan kunci di dalam pengembangan senyawa bioaktif dan usaha–usaha kesehatan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Penelitian
Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa bioaktif dengan hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
1. Faktor internal pada hewan percobaan sendiri : umur, jenis kelamin, bobot badan, keadaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
2. Faktor–faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang, populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang pemeliharaan, dan cara pemeliharaan.
3. Keadaan faktor–faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan percobaan terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan yang tidak wajar terhadap hewan percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyimpangan hasil. Di samping itu cara pemberian senyawa bioaktif terhadap hewan percobaan tentu mempengaruhi respon hewan terhadap senyawa bioaktif yang bersangkutan terutama segi kemunculan efeknya. Cara pemberian yang digunakan tentu tergantung pula kepada bahan atau bentuk sediaan yang akan digunakan serta hewan percobaan yang akan digunakan. Sebelum senyawa bioaktif dapat mencapai tempat kerjanya, senyawa bioaktif harus melalui proses absorpsi terlebih dahulu kemudian
Sifat Fisiologi Yang Berpengaruh
1. Distribusi.
2. Absorpsi suatu senyawa bioaktif disamping ditentukan oleh sifat senyawa bioaktifnya sendiri juga ditentukan oleh sifat / keadaan daerah kontak mula oleh senyawa bioaktif dengan tubuh. Sifat–sifat fisiologis seperti jumlah suplai darah dan keadaan biokimia daerah kontak mula senyawa bioaktif dengan tubuh menentukan proses absorpsi senyawa bioaktif yang bersangkutan. Jumlah senyawa bioaktif yang akan mencapai sasaran kerjanya dalam jangka waktu tertentu akan berbeda.
Peranan Cara Pemberian
Cara atau rute pemberian senyawa bioaktif menentukan daerah kontak mula senyawa bioaktif dengan tubuh dan ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek senyawa bioaktif.
Penanganan Umum Beberapa Hewan Coba
Berbeda dengan bahan kimia yang merupakan bahan mati, percobaan dengan hewan percobaan yang hidup memerlukan perhatian dan penanganan / perlakuan yang khusus.
Mencit (Mus musculus)
Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah ditangani dan bersifat penakut, fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi. Aktivitasnya di malam hari lebih aktif. Kehadiran manusia akan mengurangi aktivitasnya
Cara Memegang mencit
Mencit dapat dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, biarkan menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya seerat / setegang mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari manis tangan kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk diberi perlakuan.
Cara Pemberian
1. Cara pemberian oral:
Pemberian secara oral pada mencit dilakukan dengan alat suntik yang dilengkapi jarum/kanula oral (berujung tumpul). Kanula ini dimasukkan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan diluncurkan melalui langit-langit ke arah belakang sampai esophagus kemudian masuk ke dalam lambung. Perlu diperhatikan bahwa cara peluncuran/pemasukan kanus yang mulus disertai pengeluaran cairan sediaannya yang mudah adalah cara pemberian yang benar. Cara pemberian yang keliru, masuk ke dalam saluran pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan kematian.
2. Cara pemberian intra peritoneal:
Mencit dipegang pada kulit punggungnya sehingga kulit abdomennya tegang, kemudian jarum disuntikkkan dengan membentuk sudut 100 dengan abdomen pada bagian tepi abdomen dan tidak terlalu ke arah kepala untuk menghindari terkenanya kandung kemih dan hati.
3. Cara pemberian subkutan:
Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit pada daerah kulit tengkuk dicubit di antara jempol dan telunjuk kemudian jarum ditusukkan di bawah kulit di antara kedua jari tersebut.
4. Cara pemberian intramuskular:
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot pada daerah otot paha.
5. Cara pemberian intravena:
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor. Hewan dimasukkan ke dalam kandang individual yang sempit dengan ekor dapat menjulang ke luar. Dilatasi vena untuk memudahkan penyuntikan, dapat dilakukan dengan pemanasan di bawah lampu atau dengan air hangat
Tikus Putih (Rattus norvegiens)
Tikus berukuran lebih besar daripada mencit dan lebih cerdas. Umumnya tikus putih ini tenang dan demikian mudah digarap. Tidak begitu bersifat fotofobik dan tidak begitu cenderung berkumpul sesamanya seperti mencit. Aktivitasnya tidak begitu terganggu oleh kehadiran manusia di sekitarnya. Bila diperlakukan kasar atau mengalami defisiensi makanan, tikus akan menjadi galak dan sering dapat menyerang si pemegang.
Penanganan :
Seperti halnya pada mencit, tikus dapat ditangani dengan memegang ekornya dengan menarik ekornya, biarkan kaki tikus mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang), kemudian secara hati–hati luncurkan tangan kiri dari belakang ke arah kepalanya seperti pada mencit tetapi dengan kelima jari, kulit tengkuk dicengkeram, cara lain yaitu selipkan ibu jari dan telunjuk menjepit kaki kanan depan tikus sedangkan kaki kiri depan tikus di antara jari tengah dan jari manis. Dengan demikian tikus akan terpegang dengan kepalanya di antara jari telunjuk dan jari tengah. Pemegangan tikus ini dilakukan dengan tangan kiri sehingga tangan kanan kita dapat melakukan perlakuan.
Pemberian Obat
Cara-cara pemberian oral, ip, sk, im, dan iv dapat dilakukan, seperti pada mencit. Penyuntikan secara iv dapat pula dilakukan pada vena penis tikus jantan dengan bantuan pembiusan hewan percobaan. Penyuntikan sk dapat dilakukan pula pada daerah kulit abdomen
Kelinci (Oryctolagus caniculus)
Kelinci jarang sekali bersuara kecuali bila dalam keadaan nyeri yang luar biasa. Kelinci cenderung berontak bila merasa terganggu. Kelinci hendaklah diperlakukan dengan halus namun sigap karena ia cenderung berontak. Hewan ini dapat ditangkap dengan memegang kulit pada tengkuknya dengan tangan kiri kemudian pantatnya diangkat dengan tangan kanan dan didekapkan ke badan.
Penanganan
Untuk perlakuan tertentu dapat digunakan kotak / kandang individual kelinci yang dapat menjaga kelinci agar tak dapat banyak bergerak (restriction box).
Cara Pemberian Obat
1. Cara pemberian oral:
Dalam cara pemberian oral pada kelinci digunakan alat penahan terbukanya mulut dan pipa lambung. Alat suntik dihubungkan dengan pipa lambung (dapat digunakan slang yang lunak dengan ukuran sesuai), pipa lambung dimasukkan ke dalam kemudian diluncurkan ke dalam esophagus secara perlahan-lahan
2. Cara pemberian subkutan:
Cara pemberian ini dilakukan di bawah kulit di daerah tengkuk atau daerah sisi pinggang. Cara pemberian dilakukan dengan mengangkat kulit dan kemudian jarum ditusukkan ke bawah kulit.
3. Cara pemberian intravena:
Dilakukan pada vena marginalis telinga dan penyuntikan dilakukan pada daerah dekat ujung telinga. Untuk memperluas (mendilatasi vena), telinga diulas terlebih dahulu dengan air hangat atau alkohol. Pencukuran bulu bila perlu dapat dilakukan terutama pada hewan yang berwarna bulunya.
Marmot (Cavia porcellus)
Marmot sebenarnya jinak dan mudah diperlakukan. Marmot dipegang dengan mengangkat badannya dengan kedua tangan.
1. Cara pemberian oral:
Pemberian oral kepada marmot dapat dilakukan dengan pipa lambung dengan bantuan hewan dianestetik lemah terlebih dahulu.
2. Cara pemberian intra pertoneal:
Penyuntikan dilakukan pada daerah perut agak ke kanan dari daerah garis tengah dan di atas tulang kematian.
3. Cara pemberian subkutan:
Penyuntikan dapat dilakukan pada daerah tengkuk: kulit dicubit kemudian jarum disuntikkan ke bawah kulit.
4. Cara pemberian intra pertoneal
Kelinci dipegang menggantung pada kaki belakangnya sehingga perut maju ke depan. Penyuntikan dapat dilakukan pada daerah garis tengah di muka kandung kemih.
5. Cara pemberian intramuskular:
Penyuntikan dilakukan ke dalam otot paha kaki belakang.
6. Cara pemberian intravena:
Pada marmot cara ini jarang digunakan. Penyuntikan dapat digunakan pada vena marginalis dengan jarum yang halus dan pendek (cara ini dapat dilakukan untuk marmot yang cukup besar) atau pada vena pada bagian paha dengan bantuan anestetik terlebih dahulu atau pada vena penis dengan bantuan anestetik.
7. Pada tiap cara pemberian ini kecuali oral, pembersihan dengan antiseptik pada daerah penyuntikan perlu dilakukan pada sebelum penyuntikan dan setelah penyuntikan perlu dilakukan. Jumlah volume penyuntikan dari tiap cara pemberian dan pada berbagai hewan percobaan berbeda-beda. Dalam tabel pertama terlampir dicantumkan volume maksimum pemberian yang dapat
Bobot Badan hewan Coba yang Digunakan
Di dalam penggunaan, hewan percobaan yang digunakan dapat berdasarkan kriteria bobot badannya di samping usianya. Farmakope Indonesia edisi III-1979 mengemukakan kriteria bobot beberapa hewan percobaan yang digunakan dalam uji hayati.
Mencit : 17-25 gram
Kelinci : 15-20 kg
Tikus : 150-200 gram
Kucing : tidak kurang lima kg
Marmot : 300-500 gram
Merpati : 100-200 gram
CARA MENGORBANKAN HEWAN PERCOBAAN
1. Pengorbanan hewan sering diperlakukan apabila keadaan rasa sakit yang hebat atau lama akibat suatu percobaan atau apabila mengalami kecelakaan, menderita sakit atau jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan.
2. Etanasi atau cara kematian tanpa rasa sakit perlu dilakukan sedemikian sehingga hewan akan mati dengan seminimal mungkin rasa sakit. Pada dasarnya cara fisik yaitu dengan melakukan dislokasi leher adalah cara yang paling cepat, mudah dan berprikemanusiaan, tetapi cara perlakuan kematian juga perlu ditinjau bila ada tujuan dari pengorbanan hewan percobaan dalam rangkaian percobaan.
3. Cara pengorbanan hewan lain adalah dengan menggunakan gas karbondioksida dalam wadah khusus atau dengan pemberian pentobarbital natrium pada takaran letalnya.
ANESTESI PADA BEBERAPA HEWAN PERCOBAAN
Perlakuan anestesi terhadap hewan percobaan kadang kala diperlakukan untuk memudahkan cara pemberian senyawa bioaktif tertentu (pemberian i.v pada vena penis tikus) dan untuk percobaan-percobaan tertentu, misalnya pengukuran tekanan darah insitu pada karotid hewan dengan manometer condon. Umumnya anestesi hewan percobaan dapat dilakukan dengan pemberian uretan sebesar 1,2 gram/kg bobot badan yang diberikan secara intra peritoneal
DAFTAR PUSTAKA
Malole, M.M.B, Pramono, C.S.U., (1989), “ Penggunaan Hewan-hewan Percobaan Laboratorium”, Penelaah Maskudi Pertadireja, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB, Bogor.
Thomson, E.B, 1985, Grug Bloscreening, Fundamentals of Drug Evaluation Techniques in Pharmacology, Graceway Publishing Company, inc, New York.
farmakologi "Peranan Hewan Coba"
Peranan Hewan Coba
Pendahuluan
Pengujian senyawa-senyawa organik sintetis maupun senyawa-senyawa alami banyak dilakukan dalam skala besar, yang dilakukan di laboratorium-laboratorium farmakologi berbagai perusahaan maupun di universitas-universitas-universitas. Tujuan utama dari pengujian ini adalah untuk menemukan senyawa baru yang memiliki aktivitas farmakologik. Di perusahaan-perusahaan, departemen-departemen riset mencari bahan farmasi yang baru dan lebih poten. Tahap selanjutnya, setelah mengisolasi zat uji, adalah prosedur penapisan (screening). Sedangkan pengujian yang dilakukan di universitas tidak selalu diarahkan untuk menemukan bahan farmasi yang baru, tetapi bisa diarahkan untuk menemukan zat yang menunjukkan aktivitas biologik yang menarik, yang dapat membantu dalam memahami efek fisiologis.
Berbagai metode penapisan yang dapat dilakukan terhadap serangkaian senyawa yang dapat memberikan aktivitas farmakologi.
Pengertian Hewan Coba
Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk digunakan sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik.
Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, zoologi komparatif, dan ekologi dalam arti luas. Di bidang kedokteran, selain untuk penelitian, hewan percobaan juga sering digunakan untuk keperluan diagnostika. Sedangkan dalam bidang pendidikan dan psikologi, hewan laboratorium digunakan untuk pengamatan tingkah laku hewan dalam rangkaian pendidikan di tingkat dasar, menengah dan tinggi; khusunya bagi tingkat balita, hewan laboratorium digunakan untuk menguji tingkat kecerdasan anak.
Penggunaan hewan hidup sebagai hewan percobaan baik untuk penelitian maupun diagnostika senantiasa mengundang dua pendapat antara pro dan kontra. Kelompok yang pro jelas datang dari para ilmuwan pengguna hewan percobaan itu, sedangkan yang kontra adalah orang-orang yang termasuk penyayang binatang.
Beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok kontra antara lain :
1. Hewan diternakkan guna kepentingan manusia, sebagai hewan produksi, untuk pengadaan bahan makanan protein hewani. Tak seorangpun yang berhak menyakiti hewan, kecuali untuk kesejahteraan hewan itu sendiri, misalnya tindakan pengobatan hewan dengan cara operasi.
2. Banyak eksperimen yang menggunakan hewan laboratorium, hasilnya mubasir. Hasil penelitian yang baik untuk terapan pada hewan percobaan tidak selalu relevan bila diterapkan pada manusia.
3. Sesungguhnya dapat dicari akal untuk menggunakan alternatif teknik lain dalam penelitian, sehingga percobaan dengan hewan dapat dihindari. Hal ini perlu, sebab setiap perlakukan pada hewan percobaan dalam penelitian, berat atau ringan, akan menimbulkan rasa sakit pada hewan.
Sebagai reaksi, kelompok ilmuwan atau pengguna hewan laboratorium juga mengemukakan argumentasi sebagai berikut :
1. Kebanyakan jenis hewan yang digunakan tidak termasuk ke dalam kelompok hewan ternak atau hewan produksi.
2. Teknologi yang berkaitan dengan aktivitas biologik untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia tidak mungkin dilakukan langsung pada manusia, tetapi diawali dengan penelitian-penelitian pada hewan percobaan. Yang jelas, hewan percobaan digunakan dalam eksperimen semata-mata ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia.
3. Dalam memperlakukan hewan percobaan dalam penelitian, para ilmuwan selalu berusaha menggunakan teknik yang seminimal mungkin menimbulkan rasa sakit pada hewan percobaan.
4. Penggunaan hewan hidup dalam penelitian akan tetap dilakukan oleh para ilmuwan sejauh menurut pendapat mereka, pengamatan tidak mungkin ditempuh dengan cara lain.
Pemanfaatan hewan percobaan demi pengembangan ilmu dan teknologi semakin meningkat, baik dalam pengadaan jumlah, ras, maupun kondisi hewan. Sejalan dengan hal itu, meningkat pula teknik dalam tatalaksana peternakan dan pengembangbiakan, serta cara-cara perlakuan dan penanganan hewan percobaan, sehingga tujuan pemanfaatan dapat tercapai semaksimal mungkin, dengan seminimal mungkin membuat hewan menderita.
Penggunaan Hewan Coba
Pemanfaatan hewan percobaan menurut pengertian secara umum adalah untuk penelitian yang mendasarkan pengamatan aktivitas biologik. Berdasarkan pada bidang ilmu yang dibina dan lingkungan tempat bernaungnya laboratorium, maka pemanfaatan hewan percobaan akan mengarah kepada suatu tujuan yang khusus.
Laboratorium yang bernaung di dalam universitas mengutamakan penggunaan hewan percobaan dalam penelitian murni yang menyangkut aktivitas biologik. Laboratorium yang berada di lingkungan industri cenderung menggunakan hewan percobaan untuk pengujian mutu hasil produksinya, sedangkan laboratorium klinik menggunakannya untuk keperluan diagnosis.
BIDANG TOKSIKOLOGI
Suatu bahan kimia sering ditambahkan pada makanan hewan dan manusia untuk tujuan memberi warna yang menarik dan aroma, atau obat untuk pencegahan penyakit dan pengawet. Agar bahan kimia tersebut tidak membahayakan konsumen, maka perlu dilakukan pengujian toksikologik melalui hewan percobaan.
Pengujian toksikologik dengan menggunakan hewan percobaan yang dilakukan di lingkungan industri bertujuan agar bahan bahan kimia yang ditambahkan pada makanan tepat dalam arti aman bagi konsumen, daya kerja efektif dan masih memberi keuntungan bagi perusahaan.
Di bidang kedokteran, uji toksilogi dilakukan untuk penegakan diagnosis pada kejadian keracunan makanan oleh bahan kimia atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Selain itu, pengujian juga dilakukan untuk pengawasan pencemaran pestisida pada bahan makanan maupun lingkungan.
Karena tujuan akhir dari uji toksikologi ini adalah untuk keselamatan manusia, maka hewan percobaan yang dipilih mempunyai sifat-sifat respon biologik dan adaptasi yang mendekati manusia. Kesamaan filogeni antara manusia dan primata mendorong para ilmuwan untuk memilih primata sebagai model. Akan tetapi karena pengadaannya tidak selalu lancar, serta pemeliharaannya yang cukup mahal, maka tikus putih dapat dipilih sebagai alternatif.
Alternatif lain adalah penggunaan anjing, mengingat anjing hidup di lingkungan manusia dan makanannya sama dengan makanan manusia. Anjing yang digunakan tentunya bukan yang sedang dipelihara, tetapi merupakan anjing yang tak bertujuan atau sedang dibuang oleh pemiliknya.
Thalidomit adalah obat yang dikenal membahayakan bila diminum oleh wanita hamil karena dapat melahirkan anak cacat (teratogenesisi). Untuk membuktikan hal ini digunakan kelinci yang sedang bunting.
BIDANG PATOLOGI
Ahli patologi menggunakan hewan percobaan terutama untuk meneliti atau mengamati adanya perubahan patologik jaringan tubuh yang disebabkan oleh :
1. terjadinya kontak antarspesies (infeksi mikroorganisme pada hewan atau manusia)
2. stress karena faktor lingkungan (suhu, kelembaban, sanitasi, dll)
3. keracunan makanan
4. defisiensi makanan
Selain itu hewan percobaan juga digunakan dalam penelitian kanker, determinasi penyakit berdasarkan perubahan jaringan dan organ tubuh yang terjadi setelah hewan percobaan mendapatkan perlakuan
DIAGNOSIS
Beberapa contoh hewan percobaan dan kegunaannya dalam diagnosis antara lain :
1. Mencit : penyakit yang disebabkan oleh enterbacteriaceae, antraks, pasteurellosis, dan rabies
2. Marmut : TBC tipe human, brucellosis, antraks, radang paha, edema malignan, penyakit yang disebabkan oleh ricketsia
3. Kelinci : TBC tipe bovine dan pasteurellosis
4. Tikus putih : leptospirosis
5. Hamster : leptospirosis dan lepra
Pengguna Hewan Coba
Pengguna hewan percobaan dikelompokkan menurut ketentuan jumlah dan proporsi tiap spesies yang digunakan :
1. Laboratorium Rumah Sakit dan Kesehatan Masyarakat
Jumlah hewan yang digunakan tidak besar tetapi jumlah keperluan relatif tetap dan variasi spesies tidak banyak. Hewan yang digunakan terutama marmut, kadang mencit dan kelinci.
2. Laboratorium Industri Farmasi
Menggunakan tikus atau mencit dalam jumlah besar untuk keperluan penelitian dan pengembangan. Anjing dan tikus digunakan untuk uji toksisitas, diperlukan dalam jumlah yang tidak besar tetapi konstan. Berbagai spesies lain juga sekali-sekali digunakan, untuk keperluan penelitian dasar, tetapi jumlahnya tidak banyak.
3. Laboratorium Penelitian Kanker
Diperlukan mencit dalam jumlah besar dan tetap, dan secara tidak tetap digunakan spesies lainnya
4. Laboratorium dalam Universitas dan Lembaga Penelitian
Jumlah dan jenis hewan percobaan yang digunakan tidak tetap. Proporsi tiap jenis hewan tidak ditentukan. Penggunaan hewan percobaan di universitas dan lembaga penelitian sangat bergantung pada biaya dan hubungan kerja sama dengan disiplin lain.
Pengujian Farmakologi pada Hewan Coba
Suatu senyawa yang baru ditemukan, baik hasil isolasi maupun sintetik, terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologik pada organ terpisah maupun pada hewan utuh (uji praklinik). Bila ditemukan suatu aktivitas farmakologik yang mungkin bermanfaat, maka senyawa yang lolos uji ini akan diteliti lebih lanjut.
Sebelum calon obat baru ini dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, dan efek toksiknya pada hewan percobaan. Dalam studi farmakokinetik, tercakup juga pengembangan teknik analisis untuk mengukur kadar senyawa maupun metabolitnya dalam cairan biologis. Semuanya itu diperlukan untuk memperkirakan dosis efektif dan memperkecil resiko penelitian pada manusia.
Studi farmakologi toksikologi pada hewan (uji praklinik) umumnya dilakukan dalam 3 tahap, masing-masing pada 2 atau 3 spesies hewan percobaan.
a. Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut bertujuan untuk mencari besarnya dosis tunggal yang mematikan 50% dari sekelompok hewan coba (LD50). Pada tahap ini sekaligus diamati gejala toksik dan perubahan patologik organ pada hewan tersebut
b. Uji Toksisitas Kronik
Uji ini bertujuan meneliti efek toksik pada hewan percobaan setelah pemberian senyawa secara teratur dalam jangka panjang dan dengan cara pemberian seperti pada pasien kelak. Lama pemberian bergantung pada lama pemakaian nantinya pada penderita
c. Uji Toksisitas Khusus
Uji toksisitas khusus meliputi penelitian terhadap sistem reproduksi termasuk teratogenisitas, karsinogenisitas, mutagenisitas, dan uji uji ketergantungan.
Walaupun farmakologi toksikologi pada hewan memberikan data yang berharga, ramalan tepat mengenai efeknya pada manusia belum dapat dibuat karena spesies yang berbeda tentunya menimbulkan perbedaan jalur dan kecepatan metabolisme, kecepatan ekskresi, sensitivitas reseptor, anatomi, dan fisiologi. Oleh karena itu, untuk mempertegas efek obat pada manusia, baik efek terapi maupun nonterapi, perlu dilakukan pengujian langsung pada manusia dalam uji klinik.
Pendahuluan
Pengujian senyawa-senyawa organik sintetis maupun senyawa-senyawa alami banyak dilakukan dalam skala besar, yang dilakukan di laboratorium-laboratorium farmakologi berbagai perusahaan maupun di universitas-universitas-universitas. Tujuan utama dari pengujian ini adalah untuk menemukan senyawa baru yang memiliki aktivitas farmakologik. Di perusahaan-perusahaan, departemen-departemen riset mencari bahan farmasi yang baru dan lebih poten. Tahap selanjutnya, setelah mengisolasi zat uji, adalah prosedur penapisan (screening). Sedangkan pengujian yang dilakukan di universitas tidak selalu diarahkan untuk menemukan bahan farmasi yang baru, tetapi bisa diarahkan untuk menemukan zat yang menunjukkan aktivitas biologik yang menarik, yang dapat membantu dalam memahami efek fisiologis.
Berbagai metode penapisan yang dapat dilakukan terhadap serangkaian senyawa yang dapat memberikan aktivitas farmakologi.
Pengertian Hewan Coba
Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk digunakan sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorik.
Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, zoologi komparatif, dan ekologi dalam arti luas. Di bidang kedokteran, selain untuk penelitian, hewan percobaan juga sering digunakan untuk keperluan diagnostika. Sedangkan dalam bidang pendidikan dan psikologi, hewan laboratorium digunakan untuk pengamatan tingkah laku hewan dalam rangkaian pendidikan di tingkat dasar, menengah dan tinggi; khusunya bagi tingkat balita, hewan laboratorium digunakan untuk menguji tingkat kecerdasan anak.
Penggunaan hewan hidup sebagai hewan percobaan baik untuk penelitian maupun diagnostika senantiasa mengundang dua pendapat antara pro dan kontra. Kelompok yang pro jelas datang dari para ilmuwan pengguna hewan percobaan itu, sedangkan yang kontra adalah orang-orang yang termasuk penyayang binatang.
Beberapa argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok kontra antara lain :
1. Hewan diternakkan guna kepentingan manusia, sebagai hewan produksi, untuk pengadaan bahan makanan protein hewani. Tak seorangpun yang berhak menyakiti hewan, kecuali untuk kesejahteraan hewan itu sendiri, misalnya tindakan pengobatan hewan dengan cara operasi.
2. Banyak eksperimen yang menggunakan hewan laboratorium, hasilnya mubasir. Hasil penelitian yang baik untuk terapan pada hewan percobaan tidak selalu relevan bila diterapkan pada manusia.
3. Sesungguhnya dapat dicari akal untuk menggunakan alternatif teknik lain dalam penelitian, sehingga percobaan dengan hewan dapat dihindari. Hal ini perlu, sebab setiap perlakukan pada hewan percobaan dalam penelitian, berat atau ringan, akan menimbulkan rasa sakit pada hewan.
Sebagai reaksi, kelompok ilmuwan atau pengguna hewan laboratorium juga mengemukakan argumentasi sebagai berikut :
1. Kebanyakan jenis hewan yang digunakan tidak termasuk ke dalam kelompok hewan ternak atau hewan produksi.
2. Teknologi yang berkaitan dengan aktivitas biologik untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia tidak mungkin dilakukan langsung pada manusia, tetapi diawali dengan penelitian-penelitian pada hewan percobaan. Yang jelas, hewan percobaan digunakan dalam eksperimen semata-mata ditujukan untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia.
3. Dalam memperlakukan hewan percobaan dalam penelitian, para ilmuwan selalu berusaha menggunakan teknik yang seminimal mungkin menimbulkan rasa sakit pada hewan percobaan.
4. Penggunaan hewan hidup dalam penelitian akan tetap dilakukan oleh para ilmuwan sejauh menurut pendapat mereka, pengamatan tidak mungkin ditempuh dengan cara lain.
Pemanfaatan hewan percobaan demi pengembangan ilmu dan teknologi semakin meningkat, baik dalam pengadaan jumlah, ras, maupun kondisi hewan. Sejalan dengan hal itu, meningkat pula teknik dalam tatalaksana peternakan dan pengembangbiakan, serta cara-cara perlakuan dan penanganan hewan percobaan, sehingga tujuan pemanfaatan dapat tercapai semaksimal mungkin, dengan seminimal mungkin membuat hewan menderita.
Penggunaan Hewan Coba
Pemanfaatan hewan percobaan menurut pengertian secara umum adalah untuk penelitian yang mendasarkan pengamatan aktivitas biologik. Berdasarkan pada bidang ilmu yang dibina dan lingkungan tempat bernaungnya laboratorium, maka pemanfaatan hewan percobaan akan mengarah kepada suatu tujuan yang khusus.
Laboratorium yang bernaung di dalam universitas mengutamakan penggunaan hewan percobaan dalam penelitian murni yang menyangkut aktivitas biologik. Laboratorium yang berada di lingkungan industri cenderung menggunakan hewan percobaan untuk pengujian mutu hasil produksinya, sedangkan laboratorium klinik menggunakannya untuk keperluan diagnosis.
BIDANG TOKSIKOLOGI
Suatu bahan kimia sering ditambahkan pada makanan hewan dan manusia untuk tujuan memberi warna yang menarik dan aroma, atau obat untuk pencegahan penyakit dan pengawet. Agar bahan kimia tersebut tidak membahayakan konsumen, maka perlu dilakukan pengujian toksikologik melalui hewan percobaan.
Pengujian toksikologik dengan menggunakan hewan percobaan yang dilakukan di lingkungan industri bertujuan agar bahan bahan kimia yang ditambahkan pada makanan tepat dalam arti aman bagi konsumen, daya kerja efektif dan masih memberi keuntungan bagi perusahaan.
Di bidang kedokteran, uji toksilogi dilakukan untuk penegakan diagnosis pada kejadian keracunan makanan oleh bahan kimia atau toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Selain itu, pengujian juga dilakukan untuk pengawasan pencemaran pestisida pada bahan makanan maupun lingkungan.
Karena tujuan akhir dari uji toksikologi ini adalah untuk keselamatan manusia, maka hewan percobaan yang dipilih mempunyai sifat-sifat respon biologik dan adaptasi yang mendekati manusia. Kesamaan filogeni antara manusia dan primata mendorong para ilmuwan untuk memilih primata sebagai model. Akan tetapi karena pengadaannya tidak selalu lancar, serta pemeliharaannya yang cukup mahal, maka tikus putih dapat dipilih sebagai alternatif.
Alternatif lain adalah penggunaan anjing, mengingat anjing hidup di lingkungan manusia dan makanannya sama dengan makanan manusia. Anjing yang digunakan tentunya bukan yang sedang dipelihara, tetapi merupakan anjing yang tak bertujuan atau sedang dibuang oleh pemiliknya.
Thalidomit adalah obat yang dikenal membahayakan bila diminum oleh wanita hamil karena dapat melahirkan anak cacat (teratogenesisi). Untuk membuktikan hal ini digunakan kelinci yang sedang bunting.
BIDANG PATOLOGI
Ahli patologi menggunakan hewan percobaan terutama untuk meneliti atau mengamati adanya perubahan patologik jaringan tubuh yang disebabkan oleh :
1. terjadinya kontak antarspesies (infeksi mikroorganisme pada hewan atau manusia)
2. stress karena faktor lingkungan (suhu, kelembaban, sanitasi, dll)
3. keracunan makanan
4. defisiensi makanan
Selain itu hewan percobaan juga digunakan dalam penelitian kanker, determinasi penyakit berdasarkan perubahan jaringan dan organ tubuh yang terjadi setelah hewan percobaan mendapatkan perlakuan
DIAGNOSIS
Beberapa contoh hewan percobaan dan kegunaannya dalam diagnosis antara lain :
1. Mencit : penyakit yang disebabkan oleh enterbacteriaceae, antraks, pasteurellosis, dan rabies
2. Marmut : TBC tipe human, brucellosis, antraks, radang paha, edema malignan, penyakit yang disebabkan oleh ricketsia
3. Kelinci : TBC tipe bovine dan pasteurellosis
4. Tikus putih : leptospirosis
5. Hamster : leptospirosis dan lepra
Pengguna Hewan Coba
Pengguna hewan percobaan dikelompokkan menurut ketentuan jumlah dan proporsi tiap spesies yang digunakan :
1. Laboratorium Rumah Sakit dan Kesehatan Masyarakat
Jumlah hewan yang digunakan tidak besar tetapi jumlah keperluan relatif tetap dan variasi spesies tidak banyak. Hewan yang digunakan terutama marmut, kadang mencit dan kelinci.
2. Laboratorium Industri Farmasi
Menggunakan tikus atau mencit dalam jumlah besar untuk keperluan penelitian dan pengembangan. Anjing dan tikus digunakan untuk uji toksisitas, diperlukan dalam jumlah yang tidak besar tetapi konstan. Berbagai spesies lain juga sekali-sekali digunakan, untuk keperluan penelitian dasar, tetapi jumlahnya tidak banyak.
3. Laboratorium Penelitian Kanker
Diperlukan mencit dalam jumlah besar dan tetap, dan secara tidak tetap digunakan spesies lainnya
4. Laboratorium dalam Universitas dan Lembaga Penelitian
Jumlah dan jenis hewan percobaan yang digunakan tidak tetap. Proporsi tiap jenis hewan tidak ditentukan. Penggunaan hewan percobaan di universitas dan lembaga penelitian sangat bergantung pada biaya dan hubungan kerja sama dengan disiplin lain.
Pengujian Farmakologi pada Hewan Coba
Suatu senyawa yang baru ditemukan, baik hasil isolasi maupun sintetik, terlebih dahulu diuji dengan serangkaian uji farmakologik pada organ terpisah maupun pada hewan utuh (uji praklinik). Bila ditemukan suatu aktivitas farmakologik yang mungkin bermanfaat, maka senyawa yang lolos uji ini akan diteliti lebih lanjut.
Sebelum calon obat baru ini dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat farmakodinamik, farmakokinetik, dan efek toksiknya pada hewan percobaan. Dalam studi farmakokinetik, tercakup juga pengembangan teknik analisis untuk mengukur kadar senyawa maupun metabolitnya dalam cairan biologis. Semuanya itu diperlukan untuk memperkirakan dosis efektif dan memperkecil resiko penelitian pada manusia.
Studi farmakologi toksikologi pada hewan (uji praklinik) umumnya dilakukan dalam 3 tahap, masing-masing pada 2 atau 3 spesies hewan percobaan.
a. Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut bertujuan untuk mencari besarnya dosis tunggal yang mematikan 50% dari sekelompok hewan coba (LD50). Pada tahap ini sekaligus diamati gejala toksik dan perubahan patologik organ pada hewan tersebut
b. Uji Toksisitas Kronik
Uji ini bertujuan meneliti efek toksik pada hewan percobaan setelah pemberian senyawa secara teratur dalam jangka panjang dan dengan cara pemberian seperti pada pasien kelak. Lama pemberian bergantung pada lama pemakaian nantinya pada penderita
c. Uji Toksisitas Khusus
Uji toksisitas khusus meliputi penelitian terhadap sistem reproduksi termasuk teratogenisitas, karsinogenisitas, mutagenisitas, dan uji uji ketergantungan.
Walaupun farmakologi toksikologi pada hewan memberikan data yang berharga, ramalan tepat mengenai efeknya pada manusia belum dapat dibuat karena spesies yang berbeda tentunya menimbulkan perbedaan jalur dan kecepatan metabolisme, kecepatan ekskresi, sensitivitas reseptor, anatomi, dan fisiologi. Oleh karena itu, untuk mempertegas efek obat pada manusia, baik efek terapi maupun nonterapi, perlu dilakukan pengujian langsung pada manusia dalam uji klinik.
farmaklogi "Pemeliharaan Hewan Percobaan"
Pemeliharaan Hewan Percobaan
Hewan yang digunakan untuk percobaan adalah hewan yang sehat, karena hanya dari hewan yang sehat dapat diharapkan produksi yang optimal dan layak digunakan sebagai hewan percobaan. Pemeliharaan kesehatan hewan percobaan merupakan kombinasi antara usaha pencegahan penyakit dan pengobatan hewan yang sakit. Penyakit-penyakit yang berbahaya bagi hewan percobaan lebih mudah dicegah daripada diobati.
CARA PEMELIHARAAN
a. Kandang
Bangunan untuk kandang harus direncanakan dengan baik sehingga memberikan kenyamanan hidup bagi hewan, hal yang harus diperhatikan adalah sbb :
1. Kandang harus cocok untuk masing-masing spesies hewan
2. tidak mempunyai permukaan yang tajam dan kasar sehingga tidak melukai hewan
3. mudah dibersihkan
4. mudah diperbaiki
5. tidak mudah rusak oleh hewan yang dikandangkan atau hewan pemangsa dari luar
6. cukup luas agar hewan dapat bergerak leluasa untuk mencari makanan dan berbiak
7. Bangunan kandang harus cukup terang
8. mendapat air bersih
9. mudah dibersihkan
10. kering
11. dilengkapi dengan sistem pembuangan air limbah dan cukup ventilasi
12. Kayu yang tidak dicat serta bahan-bahan lain yang bersifat mengisap air tidak boleh dipakai untuk bangunan kandang
13. Hewan dalam kandang akan merasa nyaman bila kandangnya kering, bersih, tidak ribut
14. Suhu antara 18 – 29 ºC (rata-rata 20 – 22 ºC)
15. kelembaban relatif antara 30 – 70%
16. sinar antara 800 – 1300 lumaen/m2
17. pertukaran udara minimum 10 kali/jam
18. Alas kandang harus diganti 1 – 3 kali dalam seminggu untuk menjamin kandang selalu kering dan bebas dari gas amoniak yang merangsang selaput lendir sehingga hewan tidak mudah terserang penyakit salurang pernapasan
19. Peningkatan kadar amoniak dalam kandang dapat dicegah dengan ventilasi yang baik, selalu bersih, dan menghindari penimbunan feses serta urin dalam kandang.
20. Hewan yang berbeda spesies ditempatkan dalam kandang yang berbeda.
21. Hewan yang sakit harus segera dipisahkan dalam kandang karantina untuk mencegah penularan atau perluasan penyakit tersebut pada hewan yang sehat.
b. Makanan
1. Hewan percobaan membutuhkan makanan yang bergizi dalam jumlah yang cukup, segar, dan bersih.
2. Minuman harus selalu bersih dan disediakan dalam jumlah yang tidak terbatas.
3. Makanan harus disimpan dalam tempat yang bersih dan kering untuk mencegah pencemaran oleh cendawan dan kutu-kutu makanan.
4. Pemberian makanan yang bermutu merupakan bagian terpenting dalam usaha menghasilkan hewan percobaan yang sehat.
Faktor makanan penting terutama pada penelitian yang menggunakan hewan percobaan dalam waktu panjang, karena defisiensi beberapa zat dalam makanan akan mempengaruhi hasil percobaan. Oleh karena itu hewan laboratorium yang tidak digunakan dalam penelitian tentang makanan harus diberi makanan berkualitas baik untuk menjamin tingkat pertumbuhan dan perkembangbiakan yang normal. Ketidakseimbangan gizi dalam makanan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, misalnya pertumbuhan lambat, peka terhadap penyakit, bulu atau rambut rontok, kematian anak prenatal, berkurangnya produksi air susu, infertil, anemia, kelainan bentuk tulang, kelainan jaringan saraf, kesulitan bergerak, dan lain-lain.
c. Pemberian Tanda
Hewan percobaan harus diberi tanda secara baik dan jelas. Ada berbagai cara identifikasi, misalnya :
1. pemberian kartu pada kotak kandang,
2. berdasarkan warna bulu,
3. pembuatan lubang atau guntingan pada daun telinga (tikus dan hamster),
4. cincin pada jari kaki,
5. pemberian zat warna pada bagian kulit yang putih, dan lain-lain.
6. Biasanya pemberian tanda pada kotak disertai dengan tanda yang permanen pada hewan sendiri karena hewan dapat dengan mudah berpindah tempat, misalnya pada saat pembersihan kandang.
d. Pencegahan penyakit
Sejumlah faktor organik dan lingkungan dapat meningkatkan resiko kontak dengan agen penyakit dan menurunkan daya tahan tubuh hewan percobaan. Faktor-faktor tersebut perlu diperhitungkan dalam usaha pencegahan penyakit. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepekaan hewan percobaan terhadap penyakit antara lain faktor lingkungan, faktor genetik, faktor metabolisme, faktor perlakuan dan faktor makanan.
Faktor lingkungan :
- iklim yang ekstrim
- perubahan iklim
- kurang ventilasi
- kadar amoniak tinggi
- terlalu kering atau terlalu lembab
- pergantian personil
- terlalu sesak dalam kandang
- alas kandang kurang baik (kasar, kotor, basah)
- hirarki sosial dalam kelompok hewan
- intensitas cahaya
- penimbunan kotoran di dalam dan di sekitar kandang
- gangguan dari hewan pemangsa
Faktor genetik
- perbedaan jenis kelamin
- kelemahan yang diturunkan dari induk
- perbedaan galur
- kelainan bawaan
- imunodefisiensi
Faktor metabolisme
- umur
- kegemukan
- kurang gizi
- kurang gerak
- laktasi
- kebuntingan
- stress
Faktor perlakuan
- hewan terikat/terkurung
- operasi
- pengaruh obat-obatan
- induksi tumor
- akibat radiasi
- inokulasi agen penyakit
- pengambilan darah
Faktor makanan
- kurang makanan dan air
- makanan busuk
- makanan terkontaminasi jamur, bakteri, toksin
- kualitas makanan rendah, kurang nutrisi
SANITASI LINGKUNGAN DAN DESINFEKSI
Sanitasi merupakan kunci keberhasilan dalam pemeliharaan hewan percobaan. Kandang bersih terutama penting selama hewan bunting, sedang menyusui, dan sebelum memasukkan hewan baru. Kandang bekas ditempati hewan sakit harus disterilkan sebelum digunakan untuk hewan sehat.
Pembersihan kandang sebaiknya dimulai dengan menggunakan air bersih dan sikat untuk menghilangkan sisa-sisa alas kandang, sisa makanan, feses, urin dan lain-lain. Langkah ini penting karena sisa-sisa bahan organik akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan mikroorganisme. Di samping itu bahan organik dapat menghambat daya kerja desinfektan. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan air panas bersuhu 80 – 90 ºC selama 3 menit atau larutan desinfektan, seperti senyawa fenol atau amonium kuartener. Sisa sabun atau desinfektan dibersihkan untuk mencegah keracunan pada hewan. Beberapa desinfektan harus dihindari penggunaannya pada bahan plastik karena dapat menyebabkan kekaburan pada plastik yang transparan.
Perlu juga diingat bahwa tidak semua mikroorganisme peka terhadap desinfektan, misalnya spora bakteri. Virus dan jamur juga mempelihatkan kepekaan yang berbeda-beda terhadap desinfektan.
Desinfektan yang mengadung halogen seperti hipoklorit dan iodofor terutama efektif dalam larutan asam, tetapi dapat merusak pakaian dan aktivitasnya berkurang dalam larutan yang mengandung bahan organik sabun atau sisa-sisa deterjen. Desinfektan yang baik, praktis dan aman untuk kandang hewan misalnya campuran 30 ml Natrium hipoklorit 5% dalam satu liter air. Campuran ini harus dibuat segera sebelum digunakan. Derivat fenol paling sedikit dipengaruhi oleh bahan anorganik dan dapat membunuh bentuk vegetatif gram positif maupun gram negatif (kecuali Pseudomonas yang membutuhkan kontak lebih lama dengan konsentrasi yang lebih tinggi). Emulsi senyawa fenol 1 – 5 % dalam air yang sedikit asam dan bersabun memiliki kemampuan membunuh jamur, spora bakteri, dan virus. Karena residu bau dan racun, maka derivat fenol tidak digunakan untuk desinfeksi tempat makanan dan minuman hewan.
Senyawa amonium kuartener efektif terhadap kuman gram negatif tetapi kurang efektif bila terdapat bahan organik, sabun, dan pada pH asam. Senyawa ini digunakan untuk desinfeksi secara umum dan terutama untuk tempat makanan dan minuman. Namun residunya pada kandang dapat menyebabkan kematian pada kelinci yang sedang menyusu.
Bahan desinfektan lainnya yang dapat digunakan serta telah terbukti memberikan hasil yang baik antara lain NaOH 2%, formalin, gas etilen dioksida dan larutan amoniak 10%.
Urin kelinci, marmut, dan hamster bersifat basa dan mengandung kristal kristal fosfat dan karbonat. Bila kristal tersebut mengendap pada kandang maka akan terbentuk kerak yang sulit dibersihkan.
Untuk membersihkan kandang dari bulu-bulu dan kotoran lain dapat dilakukan pembakaran yang pada umumnya lebih murah.
Fumigasi menggunakan gas formaldehid, bila didahului dengan pembersihan secara mekanis, merupakan cara yang efektif untuk membasmi parasit dan bakteri ventuk vegetatif. Sebelum fumigasi dilakukan, ruangan kandang harus dikosongkan dari hewan lalu ditutup kedap udara, suhu dibuat di atas 21 ºC dan dibasahi agar kelembaban relatif mencapai 80 % atau lebih. Gas formaldehid dapat diperoleh dengan cara memanaskan kristal p-formaldehid.
Referensi :
Malole, M.B.M. & Pramono, C.S.U., 1989, Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB, Bogor, 31 – 37.
Hewan yang digunakan untuk percobaan adalah hewan yang sehat, karena hanya dari hewan yang sehat dapat diharapkan produksi yang optimal dan layak digunakan sebagai hewan percobaan. Pemeliharaan kesehatan hewan percobaan merupakan kombinasi antara usaha pencegahan penyakit dan pengobatan hewan yang sakit. Penyakit-penyakit yang berbahaya bagi hewan percobaan lebih mudah dicegah daripada diobati.
CARA PEMELIHARAAN
a. Kandang
Bangunan untuk kandang harus direncanakan dengan baik sehingga memberikan kenyamanan hidup bagi hewan, hal yang harus diperhatikan adalah sbb :
1. Kandang harus cocok untuk masing-masing spesies hewan
2. tidak mempunyai permukaan yang tajam dan kasar sehingga tidak melukai hewan
3. mudah dibersihkan
4. mudah diperbaiki
5. tidak mudah rusak oleh hewan yang dikandangkan atau hewan pemangsa dari luar
6. cukup luas agar hewan dapat bergerak leluasa untuk mencari makanan dan berbiak
7. Bangunan kandang harus cukup terang
8. mendapat air bersih
9. mudah dibersihkan
10. kering
11. dilengkapi dengan sistem pembuangan air limbah dan cukup ventilasi
12. Kayu yang tidak dicat serta bahan-bahan lain yang bersifat mengisap air tidak boleh dipakai untuk bangunan kandang
13. Hewan dalam kandang akan merasa nyaman bila kandangnya kering, bersih, tidak ribut
14. Suhu antara 18 – 29 ºC (rata-rata 20 – 22 ºC)
15. kelembaban relatif antara 30 – 70%
16. sinar antara 800 – 1300 lumaen/m2
17. pertukaran udara minimum 10 kali/jam
18. Alas kandang harus diganti 1 – 3 kali dalam seminggu untuk menjamin kandang selalu kering dan bebas dari gas amoniak yang merangsang selaput lendir sehingga hewan tidak mudah terserang penyakit salurang pernapasan
19. Peningkatan kadar amoniak dalam kandang dapat dicegah dengan ventilasi yang baik, selalu bersih, dan menghindari penimbunan feses serta urin dalam kandang.
20. Hewan yang berbeda spesies ditempatkan dalam kandang yang berbeda.
21. Hewan yang sakit harus segera dipisahkan dalam kandang karantina untuk mencegah penularan atau perluasan penyakit tersebut pada hewan yang sehat.
b. Makanan
1. Hewan percobaan membutuhkan makanan yang bergizi dalam jumlah yang cukup, segar, dan bersih.
2. Minuman harus selalu bersih dan disediakan dalam jumlah yang tidak terbatas.
3. Makanan harus disimpan dalam tempat yang bersih dan kering untuk mencegah pencemaran oleh cendawan dan kutu-kutu makanan.
4. Pemberian makanan yang bermutu merupakan bagian terpenting dalam usaha menghasilkan hewan percobaan yang sehat.
Faktor makanan penting terutama pada penelitian yang menggunakan hewan percobaan dalam waktu panjang, karena defisiensi beberapa zat dalam makanan akan mempengaruhi hasil percobaan. Oleh karena itu hewan laboratorium yang tidak digunakan dalam penelitian tentang makanan harus diberi makanan berkualitas baik untuk menjamin tingkat pertumbuhan dan perkembangbiakan yang normal. Ketidakseimbangan gizi dalam makanan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, misalnya pertumbuhan lambat, peka terhadap penyakit, bulu atau rambut rontok, kematian anak prenatal, berkurangnya produksi air susu, infertil, anemia, kelainan bentuk tulang, kelainan jaringan saraf, kesulitan bergerak, dan lain-lain.
c. Pemberian Tanda
Hewan percobaan harus diberi tanda secara baik dan jelas. Ada berbagai cara identifikasi, misalnya :
1. pemberian kartu pada kotak kandang,
2. berdasarkan warna bulu,
3. pembuatan lubang atau guntingan pada daun telinga (tikus dan hamster),
4. cincin pada jari kaki,
5. pemberian zat warna pada bagian kulit yang putih, dan lain-lain.
6. Biasanya pemberian tanda pada kotak disertai dengan tanda yang permanen pada hewan sendiri karena hewan dapat dengan mudah berpindah tempat, misalnya pada saat pembersihan kandang.
d. Pencegahan penyakit
Sejumlah faktor organik dan lingkungan dapat meningkatkan resiko kontak dengan agen penyakit dan menurunkan daya tahan tubuh hewan percobaan. Faktor-faktor tersebut perlu diperhitungkan dalam usaha pencegahan penyakit. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepekaan hewan percobaan terhadap penyakit antara lain faktor lingkungan, faktor genetik, faktor metabolisme, faktor perlakuan dan faktor makanan.
Faktor lingkungan :
- iklim yang ekstrim
- perubahan iklim
- kurang ventilasi
- kadar amoniak tinggi
- terlalu kering atau terlalu lembab
- pergantian personil
- terlalu sesak dalam kandang
- alas kandang kurang baik (kasar, kotor, basah)
- hirarki sosial dalam kelompok hewan
- intensitas cahaya
- penimbunan kotoran di dalam dan di sekitar kandang
- gangguan dari hewan pemangsa
Faktor genetik
- perbedaan jenis kelamin
- kelemahan yang diturunkan dari induk
- perbedaan galur
- kelainan bawaan
- imunodefisiensi
Faktor metabolisme
- umur
- kegemukan
- kurang gizi
- kurang gerak
- laktasi
- kebuntingan
- stress
Faktor perlakuan
- hewan terikat/terkurung
- operasi
- pengaruh obat-obatan
- induksi tumor
- akibat radiasi
- inokulasi agen penyakit
- pengambilan darah
Faktor makanan
- kurang makanan dan air
- makanan busuk
- makanan terkontaminasi jamur, bakteri, toksin
- kualitas makanan rendah, kurang nutrisi
SANITASI LINGKUNGAN DAN DESINFEKSI
Sanitasi merupakan kunci keberhasilan dalam pemeliharaan hewan percobaan. Kandang bersih terutama penting selama hewan bunting, sedang menyusui, dan sebelum memasukkan hewan baru. Kandang bekas ditempati hewan sakit harus disterilkan sebelum digunakan untuk hewan sehat.
Pembersihan kandang sebaiknya dimulai dengan menggunakan air bersih dan sikat untuk menghilangkan sisa-sisa alas kandang, sisa makanan, feses, urin dan lain-lain. Langkah ini penting karena sisa-sisa bahan organik akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan mikroorganisme. Di samping itu bahan organik dapat menghambat daya kerja desinfektan. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan air panas bersuhu 80 – 90 ºC selama 3 menit atau larutan desinfektan, seperti senyawa fenol atau amonium kuartener. Sisa sabun atau desinfektan dibersihkan untuk mencegah keracunan pada hewan. Beberapa desinfektan harus dihindari penggunaannya pada bahan plastik karena dapat menyebabkan kekaburan pada plastik yang transparan.
Perlu juga diingat bahwa tidak semua mikroorganisme peka terhadap desinfektan, misalnya spora bakteri. Virus dan jamur juga mempelihatkan kepekaan yang berbeda-beda terhadap desinfektan.
Desinfektan yang mengadung halogen seperti hipoklorit dan iodofor terutama efektif dalam larutan asam, tetapi dapat merusak pakaian dan aktivitasnya berkurang dalam larutan yang mengandung bahan organik sabun atau sisa-sisa deterjen. Desinfektan yang baik, praktis dan aman untuk kandang hewan misalnya campuran 30 ml Natrium hipoklorit 5% dalam satu liter air. Campuran ini harus dibuat segera sebelum digunakan. Derivat fenol paling sedikit dipengaruhi oleh bahan anorganik dan dapat membunuh bentuk vegetatif gram positif maupun gram negatif (kecuali Pseudomonas yang membutuhkan kontak lebih lama dengan konsentrasi yang lebih tinggi). Emulsi senyawa fenol 1 – 5 % dalam air yang sedikit asam dan bersabun memiliki kemampuan membunuh jamur, spora bakteri, dan virus. Karena residu bau dan racun, maka derivat fenol tidak digunakan untuk desinfeksi tempat makanan dan minuman hewan.
Senyawa amonium kuartener efektif terhadap kuman gram negatif tetapi kurang efektif bila terdapat bahan organik, sabun, dan pada pH asam. Senyawa ini digunakan untuk desinfeksi secara umum dan terutama untuk tempat makanan dan minuman. Namun residunya pada kandang dapat menyebabkan kematian pada kelinci yang sedang menyusu.
Bahan desinfektan lainnya yang dapat digunakan serta telah terbukti memberikan hasil yang baik antara lain NaOH 2%, formalin, gas etilen dioksida dan larutan amoniak 10%.
Urin kelinci, marmut, dan hamster bersifat basa dan mengandung kristal kristal fosfat dan karbonat. Bila kristal tersebut mengendap pada kandang maka akan terbentuk kerak yang sulit dibersihkan.
Untuk membersihkan kandang dari bulu-bulu dan kotoran lain dapat dilakukan pembakaran yang pada umumnya lebih murah.
Fumigasi menggunakan gas formaldehid, bila didahului dengan pembersihan secara mekanis, merupakan cara yang efektif untuk membasmi parasit dan bakteri ventuk vegetatif. Sebelum fumigasi dilakukan, ruangan kandang harus dikosongkan dari hewan lalu ditutup kedap udara, suhu dibuat di atas 21 ºC dan dibasahi agar kelembaban relatif mencapai 80 % atau lebih. Gas formaldehid dapat diperoleh dengan cara memanaskan kristal p-formaldehid.
Referensi :
Malole, M.B.M. & Pramono, C.S.U., 1989, Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB, Bogor, 31 – 37.
Farmakologi "Metode yang digunakan dalam Ilmu Anatomi fisiologi Manusia (FAAL)"
Metode yang digunakan dalam Ilmu Anatomi fisiologi Manusia (FAAL)
FISIOLOGI ADALAH ILMU YANG MEMPELAJARI PERAN ATAU FUNGSI ALAT TUBUH DARI SUATU MAKHLUK HIDUP. UNTUK ITU PERLU MENGETAHUI PROSES YANG TERJADI DI DALAM ALAT TUBUH.
Metode ilmu faal
1. Metode observasi
Mengamati aktivitas dan perubahan yang terjadi di dalam suatu alat tubuh karena pengaruh berbagai keadaan lingkungan.
2. Metode analisis kimia
Menganalisa secara kimia substansi yang diperlukan dan juga substansi yang dihasilkan oleh hewan.
3. Metode pengamatan secara mikroskopik
Mengamati dengan menggunakan mikroskop struktur suatu sel baik dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif
4. Metode perfusi
Merupakan suatu cara dimana seluruh bagian dari suatu alat tubuh dan larutan nutrisi atau darah dialirkan dengan sirkulasi buatan ke alat tubuh tersebut.
5. Metode kultur jaringan
Dengan mengamati pertumbuhan sel yang telah diambil dari tubuh dan ditempatkan dalam kultur medium.
6. Metode penyuntikan
yaitu dengan menyuntikkan suatu substansi kedalam tubuh untuk mengetahui pengaruh substansi tersebut terhadap tubuh
7. Metode pencakokan
Dengan memindahkan suatu jaringan dari satu bagian tubuh hewan ke bagian tubuh hewan yang lain
8. Metode pencatatan
suatu teknik untuk memperoleh grafik dari aktivitas alat-alat tubuh.
FISIOLOGI ADALAH ILMU YANG MEMPELAJARI PERAN ATAU FUNGSI ALAT TUBUH DARI SUATU MAKHLUK HIDUP. UNTUK ITU PERLU MENGETAHUI PROSES YANG TERJADI DI DALAM ALAT TUBUH.
Metode ilmu faal
1. Metode observasi
Mengamati aktivitas dan perubahan yang terjadi di dalam suatu alat tubuh karena pengaruh berbagai keadaan lingkungan.
2. Metode analisis kimia
Menganalisa secara kimia substansi yang diperlukan dan juga substansi yang dihasilkan oleh hewan.
3. Metode pengamatan secara mikroskopik
Mengamati dengan menggunakan mikroskop struktur suatu sel baik dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif
4. Metode perfusi
Merupakan suatu cara dimana seluruh bagian dari suatu alat tubuh dan larutan nutrisi atau darah dialirkan dengan sirkulasi buatan ke alat tubuh tersebut.
5. Metode kultur jaringan
Dengan mengamati pertumbuhan sel yang telah diambil dari tubuh dan ditempatkan dalam kultur medium.
6. Metode penyuntikan
yaitu dengan menyuntikkan suatu substansi kedalam tubuh untuk mengetahui pengaruh substansi tersebut terhadap tubuh
7. Metode pencakokan
Dengan memindahkan suatu jaringan dari satu bagian tubuh hewan ke bagian tubuh hewan yang lain
8. Metode pencatatan
suatu teknik untuk memperoleh grafik dari aktivitas alat-alat tubuh.
Langganan:
Postingan (Atom)